Untuk Bapak [Part 5]

“Ayah adalah yang teristimewa di dunia sebab dari keringatnya ia memberi tapak untuk melangkah.”


My father gave me the greatest gift anyone could give another person, he believed in me. Bapak begitu percaya bahwa setiap anak-anaknya akan tumbuh menjadi orang baik yang mencintai Allah dan RasulNya. Dan Bapak, beliau orang tua terbaik yang pernah kumiliki dalam hidup. Aku tidak pernah sekalipun melihat Bapak mengeluh, beliau selalu sederhana memandang persoalan hidup. Walaupun terkadang aku tidak tau apa yang sedang beliau pikirkan dan rasakan. Aku hanya bisa menerka saja.

Gerimis tidak berhenti, aku sengaja tidak memakai jas hujan. Aku biarkan derai-derai hujan menerpa wajahku, kupejamkan mata dan kuresapi tiap bulir yang menetes dari langit. Aku, anak paling bahagia. Bapak selalu ingin mengantarku kerja, menjemputku, mengantarkanku kemanapun kumau. Bapak selalu berkata: "Kamu belum punya suami, jadi Bapak yang akan antar. Kamu ga boleh naik kendaraan sendiri, harus Bapak yang antar. Bapak sayang sekali sama kamu Nak, biarkan di usia senja ini Bapak mencintai anak-anak Bapak." Aku menangis bahagia, aku tau ada hal yang kusimpan sejak lama mengenai Bapak. Bapak sangat posesif, tapi penuh cinta dan aku suka itu. Sepanjang perjalanan beliau selalu bercerita, tentang kehidupan dan keberkahan. Terkadang juga tentang cita-cita, keinginan atau sekedar gurauan kecil.

Kantorku sangat jauh, dan Bapak begitu riang mengantarku naik motor. Bercerita panjang lebar sepanjang perjalanan. "Ken, kamu tau Mutmainnah?", tiba-tiba Bapak bertanya. "Ada ayat di Quran tentang Muthmainnah kan? Bunyinya gimana Ken, artinya apa?". Aku tersenyum, senyum yang melegakan. "Ada Pak, di QS Al Fajr. Tentang jiwa-jiwa yang tenang. 

“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah…irji'i ila rabbiki radhiatan mardhiyah…fadkhuliy fii ibadii…wadkhulii jannatii”. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”, aku menjawab dengan penuh keharuan. Aku tau, ini seperti kode. Bapak sudah sepuh, ingin segera menimang cucu. Mataku terpejam, lidahku sungguh kelu. Seandainya saat itu juga aku dapat berkata: Pak, akupun begitu, aku sedang menunggu ia yang Allah janjikan, Bapak sabar ya. 

Meskipun aku tau benar, Bapak tidak pernah memaksaku, Bapak selalu bersabar, Bapak selalu yakin aku kelak mendapat pendamping hidup yang Sholih dan berakhlak baik. Soal materi, strata sosial maupun pendidikan tidaklah begitu penting karena itu perkara dunia. Tidak abadi, bisa dicari dan bisa diperjuangkan bukan?.

Aku jadi ingat nyanyian khas Bapak ketika menceritakan dongeng kepada kami anak-anaknya, masih terpatri dalam ingatan. Aku tersenyum simpul kalau tiba-tiba Bapak menyanyikan nada khasnya ketika sedang mengantarku, ketika sedang berjalan bersamaku, atau pada saat tertawa renyah bersamaku. He is a family man.

Bapak sungguh budayawan yang luar biasa. Tak heran jika beliau banyak sekali idenya. Dari lukisan yang tak pernah aku tau maknanya, naskah drama teater yang bertubi-tubi membuatku terkejut, puisi dan novel yang kritis namun cerdas hingga soal remeh temeh seperti hiasan di dinding rumah. Bapak detail sekali. Aku hidup dari darah seni yang sangat kental, saking kentalnya aku tidak bisa berhenti mencintai seni dan sastra.

Bapak, love you cause Allah so much.
Februari, 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia