Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Impian Tanpa Dasar Keimanan

Bisakah sebuah impian menjadi kenyataan tanpa dasar iman? Absolutely Yes, but just illusion . Karena impian yang menjadi kenyataan akan tetap menjadi ilusi tanpa dasar keimanan. Jangan terlalu mengejar bayangan ilusi, ia tak pernah menetap di hati, bahkan tak bersandar pada keimanan. Ia hanyalah lamunan yang menari-nari dalam pikiran. Trap ! Kemudian terjebak dalam kepalsuan. It's not real! . Ilusi mudah diciptakan, dipikirkan dan dikhayalkan, namun kenyataan, the real life mesti diperjuangkan. Yup, hidup memang tidak pernah ideal. Jangan terlalu idealis dan menuntut kesempurnaan, karena sejatinya, ideal tidak akan pernah ada ujungnya. Jangan terlalu lama terjebak dalam ilusi yang kita buat sendiri. Ia takkan pernah nyata. Ia serupa bait-bait puisi yang belum menemukan rimanya, tidak akan pernah bermakna. Ia serupa bayang-bayang yang tak pernah tau kapan habisnya, tidak akan pernah menjadi kenyataan yang sebenarnya. Fokus pada kebahagiaan, fokus pada kelebihan, jangan me

Merubah Dunia Dengan Kata

"Apabila seseorang telah meyakini bahwa kematian akan menghentikannya dari beramal, pasti ia akan mengerjakan sesuatu yang pahalanya mengalir pasca kematiannya. Ia akan : Mewakafkan tanah, menanamkan tanaman, menggali sumur, mengusahakan keturunan yg akan mengingat Allah sepeninggalnya, atau menulis buku" -Ibnu Al-Jauzi- Mempersiapkan bekal terbaik untuk akhirat bukanlah hal yang sepele. Perlu banyak ikhtiar, komitmen yang kuat kepada Allah untuk terus berbuat kebaikan serta berusaha berjuang untuk kemaslahatan ummat. Salah satu yang menjadi ikhtiarku adalah "Menulis Buku" . Menulis buku yang kelak dapat menjadi inspirasi banyak manusia untuk berbuat baik, berupaya baik dan tak lelah menebar kasih sayang.  Menulis adalah mengekspresikan karya melalui bahasa pena, itulah setidaknya yang dapat meredakanku dari pikiran, imaji dan doa yang terus menerus tak henti kulantunkan untuk bangsa ini.  Kesibukan pekerjaan tak lantas membuatku berhenti berkarya, bahwa m

Cinta Di Ujung Senja

“Pada akhirnya senja hanya semakin menjauh. Namun ia tak pernah sanggup melenyapkan cinta yang paling diam dari pandangan mata, apalagi hati. Lalu aku hanya menunggunya saat magrib tiba.”  Perkara cinta memang tidak selayaknya kita batasi hanya dari mata turun ke hati atau dari lisan kemudian bermuara menjadi sikap. Bukan. Tidakkah cinta tidak mengenal batas? Ia bergelayut mesra masuk ke dalam ruang-ruang hati. Berdesir indah dalam nurani, seperti senja yang merindukan langit tatkala matahari hendak meninggalkan bumi. Begitu megah mendefinisikan cinta yang merona dalam wajah-wajah sunyi, serupa warna jingga cahaya matahari di sore hari.   Barangkali hati lebih dulu mengetahui rasa daripada mata, kadang aku iri dengan hati ia lebih cepat menangkap sinyal bahagia ketimbang mata yang seringkali menimbang terlampau lama. Begitukah cinta bermertamofosa menjadi bait-bait rindu meski perjumpaan tidak selamanya. Satu hal yang sungguh menghanyutkan hati, bahwa cinta itu sesungguhnya m

Di Balik Lensa: Menuju Karya Pertama

"Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan..." ~HR. Muslim~ Setiap manusia memiliki dimensi imajinya tersendiri, bagian manakah yang paling mendekatkan pada Illahi? Rasanya jika diakui sungguh apa yang menurut kita indah bisa jadi tidak bagi Sang Pencipta atau sebaliknya yang menurut kita biasa saja barangkali sangat indah dihadapanNya. Seringkali kita terbuai dengan hal yang sifatnya fana, padahal sungguh selayaknya kita sadari bahwa dunia tidak lain hanyalah sendau gurau dan permainan dan akhirat sebenar-benar tempat kembali. Kita terkadang lupa bahwa setiap detik yang dilalui adalah perjalanan menuju kepadaNya. Bukankah setiap dari kita sesungguhnya sedang melakukan perjalanan? Perjalanan hati menuju kepadaNya, Allah Yang Maha Mencintai. Hari ini banyak sekali hikmah yang Allah sampaikan dengan sangat lembut dan mesra kepada saya, bahwa keindahan letaknya bukan di pelupuk mata namun dekat dengan hati. Tanpa disadari Allah sampaikan itu lekat sekal

Bersikap Biasa

Setiap dari kita memiliki rahasia, menyembunyikannya dari orang lain bahkan dengan diri kita sendiri. Mencoba untuk mengikhlaskan, mencoba untuk berdamai dengan waktu. Mencoba untuk melupakan. Barangkali kita sedang berproses menuju kesana. Terkadang mudah bagi orang untuk menceritakan hal baik, kebahagiaan, kenikmatan bahkan prestasi namun untuk kesedihan, kedukaan bahkan penderitaan kebanyakan dari kita adalah diam. Menyembunyikan segala rasa dan pasrah terhadap segala takdirNya. Itu kita, yang secara fitrah tidak ingin terlihat lemah dan tak berdaya di hadapan khalayak. Barangkali ada baiknya jika kita berusaha untuk bersikap biasa di hadapan orang lain. Ketika bahagia tidak terlalu mengikuti euforia, ketika bersedih tidak terlampau menyesakkan. Karena sejatinya perasaan kita hanya Allah yang tau, hanya Allah yang mengetahui secara detail bagaimana hati dan pikiran kita. Maka, bersikap biasa, tidak berlebihan dan tau porsi adalah sikap yang cukup bijaksana. Terkadang p

Di Balik Lensa

Gambar
Terkadang detik terlampau lama untuk ditunggu Presisi rasanya tidak lagi menjadi candu Kepekaan terhadap warna menjadi nyata Bukan objek pelipur lara namun jiwa yang selalu merdeka Setiap lensa memiliki cerita Ia membidik dengan sempurna Jika focus adalah tujuan Maka buat apa menjadi durja Kosong, terkadang ilusi mengalahkan logika Begitu pula aku yang sedang merana Entah karena dinding bebatuan di sekat itu Atau mungkin ketidaktahuanku yang semakin merajalela Lensa tersenyum padaku Hei! Apa yang hendak kau bidik? Diam adalah membisu, seperti hari ini aku tidak berseru Diam! Aku sedang berkontemplasi dengan sepia Rasanya sendu namun berpadu Bidiklah hal yang baik! Hei! Lensa tak bernyawa namun ia patuh pada sang tuan Dikembalikannya focus seperti semula Ternyata aku hanya sekedar perupa Yang mengetahui bahwa keindahan itu ada Namun sepi sendiri tak bersuara Lensa menjadikanku semakin gempita Aku tau! Tidakkah aku harus membidik hal yang baik saja? Seper

Untuk Bapak (Part 4)

“To a father growing old nothing is dearer than a daughter.” — Euripides Bapak, engkau tentu tau. Apa hal yang paling membahagiakan bagiku saat ini? Bisa menjadi yang engkau banggakan, engkau cintai sepenuh hati dan engkau doakan sepanjang kehidupan. Terima kasih tak pernah letih memperjuangkan ananda, anak perempuanmu. Terima kasih telah begitu dalam mencintaiku, meskipun terkadang ananda tidak paham. Bapak, tentu engkau mengerti bahwa terkadang ketika kita berharap, kenyataannya tidak selalu sejalan. Ananda tau engkau adalah seniman handal yang dicintai banyak orang, budayawan sukses yang dihormati banyak orang, pelukis hebat yang dirindukan karyanya serta penyair santun yang luar biasa puisinya. Ananda bangga memiliki Bapak yang mulia pekerjaannya. Terima kasih pula telah mengajari ananda dan adik-adik mengenai arti kehidupan melalui seni dan sastra yang mungkin tidak didapatkan oleh anak lainnya. Terima kasih Pak telah menjadi suami Ibu yang luar biasa, terima kasih tel