Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Yang Kuingat Hanya Satu

"Kamu uda lama ga nulis, Ken?" tanya Bapak suatu sore. Aku hanya terdiam dan tersenyum. "Menulislah Ken, kalau tidak bisa banyak tulislah puisi yang lebih ringan, bermain kata-kata bisa menentramkan hati". Yang Kuingat Hanya Satu   Terkadang aku lupa  bahwa matahari berwarna jingga Atau merah menyala  seperti kelopak bunga di depan rumah   Terkadang bahasa lisan  tidak bisa menerjemahkan bahasa hati  siapa yang lebih tau Bahwa nurani adalah rahasia Illahi?   Terkadang aku lupa bahwa mimpi bisa larut dalam sunyi  siapa kira jika seluruh jemari meminta pada Illahi? Berderap langkah pun seperti misteri, b inar-binar cahaya tak lebihnya sepi Terkadang aku lupa bahwa langit berwarna biru t api bisa jadi laut yang berwarna biru, satu fase bisa merubah arti  bukankah langit bisa saja berwarna gelap jika malam menjelang?  Atau berwarna kuning saat matahari terbit?   Terkadang aku lupa bahwa rumput berwarna hijau Atau cokelat saat musim semi tiba  tidak

Hasil Tidak Pernah Mengkhianati Ikhtiar

Malam itu entah kenapa air mataku tak terbendung, beranak sungai tak berujung. Bercerita panjang dengan rekan sekerja ku yang begitu luar biasa. Aku memanggilnya, Mba Retno. Entah, bagaimana aku bisa melukiskan sosok kepribadiannya yang lebih dari sekedar baik namun teramat baik. Tidak hanya perhatian namun sangat berempati. Aku hingga tak sanggup lagi melukiskan setiap kebaikannya, setiap kepeduliannya yang tak pernah ada letihnya. Aku sungguh mengaguminya. Mba Retno selalu berada di garda terdepan perkara ukhuwah. Apapun yang bisa dikerjakan akan beliau kerjakan dengan tuntas, tanpa perhitungan bahkan jika malam hari pun bisa dikerjakan akan dilakukan dengan sepenuh hati. Aku mungkin tidak sanggup sebegitu luar biasanya seperti Mba Retno, yang sangat care terhadap siapapun, yang amat bertanggungjawab terhadap suatu pekerjaan dan bersabar atas banyak ujian yang menerpa. Terkadang aku berpikir, bagaimana bisa manusia begitu baik dan luar biasa seperti ini?. Hingga malam itu M

Fitrah Nurani

Perjalanan malam dengan kereta selalu penuh cerita, entah mungkin karena aku yang terlalu melankoli atau karena aku tak pernah bisa memejamkan mata. Lampu-lampu kota terasa temaram dalam benak. Lalu lalang mobil seperti beresonansi menjadi satu. Stasiun kereta memanggilku perlahan, aku harus segera bergegas. Pandanganku mengabur keluar jendela, suara desakan rel dan jeruji terdengar perlahan namun asing sekali. Pikiranku entah kenapa tiba-tiba saja ke Allepo, Syria. Aku membayangkan darah bertumpah dimana-mana, tangisan memekkikan telinga, sedang apa kota itu saat ini? Mereka tidur berselimut debu, berlumuran darah dan berhujan air mata. Entah, seberapa banyak kesakitan yang mereka rasakan. Aku sungguh tidak kuat membayangkan. Pikiran hatiku mulai beradu, kenapa kemanusiaan seakan membisu. Bagaimana tahan aku melihat mereka yang amat sangat mencintai Allah itu merasakan penderitaan sedemikian rupa? Ranah nurani terkadang tidak mampu menjawabnya. Aku pun bingung, kenapa manusi