Selaksa Cinta di Gunung Kidul

Terkadang, mata iri kepada hati karena hati lebih cepat menangkap rasa daripada mata yang terlampau lama menimbang. Dan rasa itu kutemukan di Gunung Kidul, Jogjakarta.

"Bu, aku pengen stay di Jogja 3-4 hari. Aku pengen nyelesain tulisan. Kalaupun tidak selesai, aku butuh tempat yang tenang untuk menulis. Aku pengen ke Gunung Kidul, ke tempat dimana langit begitu indah. Dan manusia mencintai alam begitu dalam." Aku meminta ijin kepada Ibu, hendak berkunjung ke salah satu rekan di Gunung Kidul. Aku tau, tidak mudah mencapai desa yang sangat pelosok dengan angkutan umum. Naik bus berkali-kali, menunggu angkot masuk ke desa. Namun, ibuku selalu mendukung setiap mimpi-mimpiku, aspiring to be a good writer. Dan alam, terdengar sayup-sayup mesra memanggilku.

Disinilah aku, di sebuah desa yang sangat jauh dari keangkuhan kota. Desa Paliyan, Gunung Kidul Jogjakarta. Aku berkenalan dengan penduduk sekitar, menyapa mereka dengan penuh bahagia. Aku takjub, Mbah Dok, pemilik rumah yang kutinggali saat ini adalah seorang petani musiman. Saat musim hujan begini, beliau memanen jagung, memetiknya dari ladang, mengupasnya, merontokkannya dengan tangan. Masya Allah, padahal umur Mbah Dok sudah sangat renta. Di usia senja beliau tak pernah mengeluh, ada binar bahagia dalam raut wajahnya. Meskipun pengepul hanya membeli dengan harga sangat murah, 2.500 per kg jagung, tak ada rasa kecewa maupun kekurangan dalam diri beliau.

Aku disambut dengan rona wajah berseri dengan anggota keluarganya. Mamak dan Bapak, serta rekanku Arrum beserta adik-adiknya, Annisa dan Yenny. Senyum khas desa Gunung Kidul, berlesung pipit dengan gigi yang putih bersih. Aku disuguhi teh khas gunung kidul yang rasanya mantap sekali dengan gelas dan teko orang desa kebanyakan. Rasanya lega dan luar biasa di tenggorokan, setelah perjalanan panjang Semarang-Gunung Kidul yang lumayan membuat punggung dan kakiku pegal.

Kemudian aku berjalan-jalan di sekitar rumah, melihat kandang sapi dan kambing. Berpeluk dengan alam, meresapi setiap angin yang berhembus, mendengar gesekan angin dengan dedaunan. Kubuka laptopku, Bab: Selaksa Cinta. Lanjutan novel Melukis Langit yang sudah 2 tahun tak kunjung tamat. Kumainkan kata demi kata nan syahdu, aku ingin kelak di umur senja, menghabiskan masa di desa seperti ini. Bersama mereka yang kucintai, merajut cinta dengan alam. Meletakkan segala harapan kepada Allah Azza Wa Jalla. Mungkinkah?. Tak terasa bulir air mata yang tertahan di pelupuk mataku menetes, aku bersyukur Ya Rabb... Alhamdullilah. Terima kasih atas setiap detik karunia yang Engkau berikan. Aku sungguh mencintaiMu.

Gunung Kidul selalu termasyur dengan pantai-pantainya yang indah. Hampir semua pantai sudah pernah ku datangi. Namun, ada pantai yang belum pernah ku kunjungi, namanya pantai Ngobaran. Lumayan jauh dari Paliyan, sekitar 45 menit. Selepas Ashar, Arrum mengajakku ke pantai Ngobaran, jalan menuju kesana sangat curam. Aku sampai terjatuh dari motor, tangan dan kakiku lecet, lututku biru dan telapak tanganku berdarah, namun aku bahagia. Sepanjang perjalanan, kutatap langit yang merona jingga, Masya Allah... Begini indahnya langit di desa. Tidak seperti di kota yang terpapar polusi udara. Pantai Ngobaran berdekatan dengan Pantai Nguyahan, pantai berpasir putih yang masih sangat perawan. Tidak banyak orang yang datang. Kudengarkan desiran ombak, suara paling merdu sedunia. Kutatap senja dengan penuh penghayatan, Ya Robbanaa... AlamMu begitu indah. Bantu kami menjaganya.

Ada rasa haru yang berselimut dalam dada, Ya Allah... Baru kali ini aku benar-benar merasakan perjalanan alam yang begitu dahsyat. Jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari peradaban modern. Mbah Dok beserta keluarga sangat sederhana, dapur mereka layaknya orang desa. Sama sekali tidak modern. Menggunakan kayu bakar dengan alat masak seadanya. Rumah beliau beratap gendeng yang terbuat dari tanah liat. Meja kursi bahkan dipan beliau juga sangat sederhana. Entah, ada Selaksa cinta yang menggelayut mesra dalam batin ini, aku justru ingin hidup serba sederhana seperti ini. Kupeluk Mbah Dok dengan cinta, aku bahagia bisa tinggal dengan wanita kuat nan bersahaja ini. Alhamdullilah.

Sebuah perjalanan, Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Belajar Dari Daun

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)