SANG FOTOGRAFER: Sebuah Perjalanan Hijrah Sang Juru Foto

Setiap lensa memiliki cerita
Ia membidik dengan sempurna
Jika focus adalah tujuan
Maka buat apa menjadi durja

Lensa tersenyum padaku
Apa yang hendak kau bidik?
Aku sedang berkontemplasi dengan sepia
Rasanya sendu namun berpadu

Bidiklah hal yang baik!
Lensa tak bernyawa namun ia patuh pada sang tuan
Dikembalikannya focus seperti semula

Lensa menjadikanku semakin gempita
Tidakkah aku harus membidik hal yang baik saja?
Seperti layaknya sang juru foto yang baik nan bersahaja
Bukan ambisi mengais nurani
Bukan pula ego diri membungkam sanubari

Lensa kemudian menarikku
Ini dia kebaikan yang seharusnya kau bidik
Setiap jemari yang menengadah pada Illahi
Setiap hati yang mengiba pada Sang Maha Tinggi



-Untuk Ivan dan Sigit

***

Jakarta, 2017: Sigit Prasetya

Aku mengenal Ivan dan Wicak sejak satu dekade yang lalu, dia sama sepertiku. Penyuka metalica, rokok dan kopi. Tidak ada malam yang kami lewati tanpa mengobrol di Item Coffee, coffee shop milik Wicak. Hari ini Ivan mengatakan bahwa esok ia harus terbang ke India, pagi-pagi sekali sehingga absen dalam pertemuan wajib kami. Rupanya ia mendapat job pre wedding dari salah satu artis ternama ibukota, dengan konsep ala Taj Mahal dengan segala cerita the truly love nya. Well, pre wedding menjadi bahasan kami di Item Coffee baru-baru ini setelah Wicak, si barista pemilik kafe yang juga fotografer ini hengkang dari dunia pre wedding.

“Bro, you know… gimana bisa elo yang famous se antero Jakarta mutusin ga ambil job pre wedding? Gile lu, duit paling besar di situ, gratis keliling dunia Bro… Ga sayang apa ama karir lo… pikirin deh, gimana tuh klien bakal nilai elo, please!”, Aku Sigit Prasetya mencoba meyakinkan Wicak bahwa keputusannya meninggalkan pre wedding adalah salah dan gegabah.

“Lo mending besok ikut gua ke Masjid Nurul Iman, ada Bro Malik Hanan, lo bisa nanya deh ke dia ngapain gue begini nih, lo Tanya aja. Si Ivan sahabat elo itu gaya-gayanya ya kayak elo gini. Ngapain ke India coba? Motoin si siapa tu artis, pegang-pegangan belum lagi pelukan, bukan muhrim Bro! Lo ga takut dosa?”, Wicak menjelaskan panjang lebar.

“Gileeee, gua ga ngerti ama lo ya Cak, lo boleh berhenti ngrokok, silahkan, lo sekarang lebih sering ke masjid silahkan, lo bahkan sekarang sering absen nongkrong, gua kagak masalah. Tapi ini soal Itemphotography Bro, bisnis yang uda kita bangun sejak kita ingusan. Lo lupa gua ampe jual-jual punya bokap, utang sana sini. Lo lupa?”Gua berusaha ngeyakinin si Wicak.

“Bro, asli, gua ngerti lo pada ga setuju ama keputusan gua. It’s okay kalo lo pengen gua ga di Itemphotography, lo bisa ganti aja namanya. Gue mundur! Tapi ini perkara prinsip Bro, ninggalin rokok aja gua uda sekarat gini, sekarang gua mantep ninggalin pre wedding. Ini soal prinsip Bro, gue hijrah… gue sadar bener. Hidup sementara, gua ga mau hidup dari passion motret tapi ternyata ga dapet ridho dari Allah. Allah ga suka kita begini Bro, lo ngerti kan? Lo sahabat gua dari kecil, please kali ini gua butuh dukungan elo. Kita sama-sama hijrah.” Wicak kali ini serius soal hijrah, yang katanya membuatnya menjadi manusia baru yang terlahir kembali.

Aku diam, tergugu. Mengabaikan setiap penjelasan Wicak. Aku terlalu banyak berpikir, aku tidak terima dengan keputusan Wicak dengan segala ke religiusitasnya. Itemphotography, bisnis foto yang aku bangun lebih dari 5 tahun hancur karena Wicak memutuskan mundur. Wicak memutuskan untuk hijrah, apalah artinya hijrah. Aku tidak pernah tau jalan pemikiran Wicak. Sejak dia bergaul dengan Si Ustadz Malik itu, aku seperti ban serep atau sekedar hiasan dinding. Tidak lagi asik, kami tidak lagi membicarakan metalica, rokok dan kopi. Kami tidak lagi begadang hingga pagi untuk sekedar tertawa haha hihi. Wicak berubah. Bahkan jam buka Item Coffee sekarang berubah. Tidak lagi 24 hours, but just 13 hours. Dengan jam sholat tutup, jeda 15 menit memberhentikan pelayanan. Gila, apa aku, sang fotografer terkenal juga harus ngikutin pola pikir si Wicak? Aku akui, Wicak memang good looking, sense of photography nya keren, mendekati sempurna. Item banyak job karena dia, dia ikon Itemphotography. Sekarang, gimana caranya aku menjelaskan se-simple mungkin kepada klien. Wicak resign. Semuanya berubah, kita tidak lagi satu visi.

***

India, 2017: Ivan Prakasa

Itemphotography menempaku menjadi seorang fotografer profesional, sang fotografer dengan segala idealismenya. Mengikuti keinginan klien, mencoba bermetamorfosa dari seorang anak band punk dengan aliran rock metal ke bisnis fotografi. Orang mungkin menganggapku si anak kemarin sore, kalau bukan karena Sigit. Aku bukan siapa-siapa. Aku yatim piatu dipungut dari asuhan sang ibu, ibuku meninggal karena sakit menahun, kemiskinan menempaku menjadi anak liar tak berperikemanusiaan. Orang bilang aku aneh, weird person dengan tatoo disekujur tubuhku. Wicak sering mengingatkanku untuk beribadah, tapi aku hanya tersenyum simpul. Gila, biarlah hubunganku dengan Tuhan hanya aku yang tau. Wicak memang tak henti mengajakku menjadi baik, apa nama nya ya? Hijrah. Kalau tidak salah. Dia berkali-kali memintaku menghapus tatoo kesayanganku, naga di punggung. Entah apa yang merasuki pikirannya. Aku sungguh tidak tau.

Pernah suatu kali dia mengajakku ke masjid Nurul Iman, masjid di atas sebuah Mall besar dekat aprtemen kami, mendengarkan ceramah Ustadz rekannya. Intinya, aku diminta untuk sholat tepat waktu. Oke, Wicak ingin menyindirku. Habis-habisan. Aku bertengkar hebat dengannya, dan dia tetap sabar membimbingku. Kali ini aku tidak mendengarkan nasehatnya mengenai pre wedding. Aku tidak setuju dengan pendapatnya, dia pikir dia siapa, enak saja mengaturku. Aku tetap berangkat ke India, bersama beberapa rekan. Kali ini job yang sangat menguntungkan, namaku tentu melambung tinggi, semakin tersohor saja. Aku tekekeh sambil memandangi bangunan Taj Mahal di depan sana. Setengah jam lagi aku mulai.

“Oke nice, nice, agak ke kiri sedikit, tangan melingkar di leher, oke, dahi berdekatan, sip… okeee”Aku mulai beraksi dengan kameraku, kuatur fokus, dan mode terbaik.

Ponselku berdering, Wicak Calling, ah tu orang so disturbing me! Kuhiraukan panggilannya, aku harus fokus pada jobku. Ini tidak main-main. Masih ada 2 tempat lagi, menunggu senja datang dan malam menjelang.

Wicak Calling, 34 missed calls. Waktu menunjukkan pukul 00.30. Aku letih, malas re call, paling-paling dia mengingatkanku pada sholat. Betul saja, hari ini aku tidak melaksanakannya. Malas saja.

Wicak Calling again, jam berapa ini? Kulirik ponselku, 08.45 waktu setempat. Kuangkat dengan malas.

“Assalammualaikum, Bro… Astagfirullahaldzim, Gua telp elo berkali-kali. Item kebakaran, elo harus balik ke Indo. Now!”

Aku terperangah tidak percaya.


***

Bandung, 2017: Wicak Syailendra

Namaku Wicak Syailendra, 26th, aku penyuka kopi. Kopi adalah bahagiaku yang sederhana. Menurutku kopi terbaik bukanlah Arabica atau Robusta yang sangat termasyur di belahan dunia. Sesungguhnya kopi terbaik ada di Indonesia. Kopi luwak Cikole, Lembang, Kopi Gayo Aceh, Kopi Lintong Sumatera, Kopi Wamena Papua, Kopi Toraja dan Kopi Jawa Arabica yang tumbuh di Kawah Ijen Jawa Timur adalah kopi dengan cita rasa unik namun sangat beraroma. Karena kopi aku membuka coffee shop, mewujudkan cita-cita kedua orangtuaku yang sederhana. Aku seorang barista yang tumbuh dari keluarga biasa. Orang tuaku pekerja keras, Bapak hanyalah seorang buruh pemetik biji kopi dan Ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga.

Dan fotografi adalah hobiku. Menurutku, menjadi fotografer itu keren. Membidik objek dengan lensa, memberikan karya terindah kepada mereka penyuka fotografi. Sigit dan Ivan adalah sahabat karibku. Mereka sama, penggila kopi, band metallica dan rokok. Kami teman satu kampus, teman seperjuangan mencari sesuap nasi di ibu kota. Tapi kini aku tidak lagi merokok. Aku sadar rokok membunuhku perlahan. Nikmat memang dipadukan dengan kopi, malam dan cerita-cerita masa depan. Aku hijrah. Aku tidak lagi menghabiskan malam dengan hal-hal tidak berguna, aku tidak lagi mengambil job yang membuat nuraniku berteriak. Pre wedding, photo session gadis-gadis seksi dan segala macam jenis job yang melenakanku tetapi Allah tidak ridho. Entah, apakah Allah memaafkan masa laluku, apakah Allah mau menerima niat hijrahku. Aku ingin berubah.

Awal mulaku berhijrah sebenarnya sejak setahun yang lalu. Ustadz Malik Hanan beserta pemudahijrah (komunitas para pemuda berhijrah) datang ke Coffee Shop ku, memesan kopi gayo dan kopi wamena. Mereka para pemuda sholih yang sangat kekinian. Memakai topi, kaos denga tulisan “Gue Hijrah, Bro!” dan celana gunung, namun jenggot mereka lebat. Mereka memintaku untuk menjadi fotografer dan videografer perjalanan umroh mereka ke tanah suci. Tidak pernah sebersit pun dalam benak aku akan benar-benar hijrah. Kuiyakan ajakan mereka, job ini sangat menguntungkan, tidak ada kecurigaan apapun pada mereka bahwa ini adalah salah satu bentuk dakwah Ustadz Malik Hanan merekrut para generasi muda.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan melakukan perjalanan religi yang mengubah paradigmaku terhadap hidup. Dulu, tidak ada cita-cita ingin melakukan perjalanan umroh. Aku ingin ke belahan dunia lain, mengenalkan kopi Indonesia ke dunia dan menjadi fotografer yang mendunia, tentu karena ingin dipuji dan dihargai orang lain. Sejak umroh aku mengenal islam lebih dalam, islam rahmatan lil alamin, islam itu indah, islam itu cinta. Aku tidak lagi menghabiskan waktu begadang dengan Sigit dan Ivan. Aku mengubah manajemen item coffee shop, kuwajibkan para karyawanku untuk sholat tepat waktu, kuubah jam buka dan tutup. Aku ingin hijrah.

Sejak umroh aku lebih banyak mengikuti kajian di Masjid Nurul Iman bersama pemudahijrah, mengikuti kegiatan dakwah dan sosial. Sesekali pengajian bertempat di coffee shop, kugratiskan kopi dan camilan untuk buka puasa. Ustadz Malik merangkulku erat kemudian berbisik; “Barakallah Bro, semoga istiqomah. Hijrah totalitas, semoga antum senantiasa dicintai Allah dan RasulNya.” Aku tau, Sigit dan Ivan menghujatku habis-habisan. Tapi aku yakin, mereka belum tersentuh hidayah. Dan aku wajib mengajak mereka berhijrah, tentu melalui proses yang baik, dengan kelembutan hati.

***

“Abis semua yang gue uda perjuangin lebih dari 5 tahun!”, Sigit tertunduk melihat puing-puing sisa kebakaran kantor itemphotography.

“Ini semua gara-gara elo Cak, kalau aja elo ga hengkang dari Item, ga ada ceritanya ancur begini. Lo suruh gue dari India pulang Cuma lo minta ngliat kekacauan ini? Lo sakit Cak, lo uda bikin segalanya ancur, puas lo?”. Ivan meradang sambil terus menghisab rokoknya.

“Gaes, gue minta maaf. Astagfirullah, ini ujian dari Allah. Kita bisa bangkit, bareng-bareng”, Wicak meminta maaf kepada dua sahabat karibnya.

“Eh elo ga usa bawa-bawa Tuhan deh. Kita lo bilang? Ga ada elo Cak, lo hengkang kan?”, Ivan menimpali

“Sekarang gue ga punya apa-apa. Kamera rusak, studio kebakar, ancur semua. Trus lo masih bilang ini ujian? Ini karena kita ga kompak, ini karena kita dan lo terutama Cak, lo gegabah. Uda deh sekarang mending lo pergi dan urus hidup lo. Gue ga mau ada lo disini.” Sigit mengusir Wicak untuk pergi.

Wicak mundur, meninggalkan kedua sahabat karibnya dengan air mata. Ia menemui Ustadz Malik meminta saran dan taujih terbaik. Kali ini Wicak benar-benar merasa bersalah. Meskipun penyebab kebakaran itu bukan karena dia. Kebakaran itu terjadi karena puntung rokok, polisi mengatakan kebakaran terjadi diakibatkan puntung rokok yang belum padam kemudian membakar studio, menjalar hingga ruang penyimpanan kamera dan melalap habis seisi kantor.

“Bro Wicak, hijrah memang penuh dengan ujian. Apalagi jika masa lalu terus menerus mengintai. Hijrah membutuhkan pengorbanan, hijrah membutuhkan keistiqomahan. Kedua sahabat antum mungkin saat ini memang belum tersentuh hidayah Allah, tapi saya yakin kelak mereka akan berjuang meninggikan kalimat Allah, berjuang bersama antum. Antum sabar, doakan yang terbaik”, Ustadz Malik menepuk-nepuk pundak Wicak dan menenangkan kegelisahannya.

“Saya bingung Tadz, bagaimana membuat mereka berhijrah menjadi lebih baik, berkarir menjadi seorang fotografer yang sholih. Saya tidak mampu Tadz, sulit sekali rasanya.”, Wicak sangat gelisah.

“Soal hidayah itu hak Allah bro, tugas antum hanya menyeru, mengingatkan perkara haq dan bathil. Jangan menyerah, terus berbuat baik, hilangkan kesusahan mereka. Saya ada kenalan fotografer, antum kenal Erlangga Panduwibowo? Beliau ketua komunitas toekangpoto sekaligus pengusaha properti. Ada ruko di Depok dan Bintaro yang diberikan untuk dakwah, antum pilih satu. Bangun kembali bisnis fotografi. Ajak kedua sahabat antum, insya Allah. Soal kamera, Erlangga punya stok di komunitasnya, pakai itu sebagai modal.” Ustadz Malik memberikan solusi yang tidak disangka oleh Wicak.

“Masya Allah Tadz, saya mau jual item coffee shop saya untuk mengganti kantor. Ustadz terlalu baik.”

“Tidak perlu, coffee shop antum jadikan markas dakwah saja, tempat nongkrong para pemuda hijrah, bikin kajian pekanan, sekalian kelas tahfidz, saya carikan pengisinya.”

Wicak tertegun. Betapa sungguh kebaikan itu hadir dalam setiap jiwa-jiwa seorang muslim sejati. Saling mendukung, saling menanggung beban. Tidak ada penghakiman apapun terhadap manusia lainnya, berdakwah dengan hati, berdakwah dengan kelembutan.

***
Wicak menemui Sigit dan Ivan, menjelaskan secara detail mengenai konsep new itemphotography. Tidak lagi memaksa mereka meninggalkan pre wedding atau segala hal yang tidak berkenan di hati Wicak. Kali ini Wicak mengalah, perkara hidayah memang hak prerogatif Allah. Wicak berharap suatu saat mereka akan berubah, entah kapan.

“Bro, gue minta maaf, apapun yang bikin lo pada benci sama gue, gue minta maaf. Kita bangun item dari awal. Gue ada ruko di Depok. Bisa kita pake buat bangun dari awal. Gue dapet modal kamera, kita coba bangkit dengan kamera yang kita punya. Dan gue pengen, lo ada sama gue. Lo berdua sahabat gue, kita susah seneng dijalanin bareng. Gue ga akan nglarang lagi lo Sigit buat ambil job sesuka elo, dan lo Ivan, gue ga akan larang lagi lo mau ke manapun pergi. Terserah. Tapi yang pasti, gue butuh kalian.”, Wicak memohon kepada kedua sahabatnya itu.

“Lo yakin? Lo dapet darimana tu ruko sama kamera? Utang?”, Sigit bertanya penuh curiga.

“Dari Erlangga, ini gue jujur. Dia yang kasih ke kita.”, Wicak menghela napas.

“Gileee, Erlangga Panduwibowo maksud lo? Fotografer senior itu? Lo ga salah? Kenal dimana lo?”, Ivan setengah tidak percaya.

“Keren juga lo bisa kenal Erlangga, bukannya dia apatis ya ama fotografer cupu kayak kita. Ga ada yang berani sama dia.”, Sigit menambahi.

“Lo pasti kaget gue kenal Erlangga darimana, kemana aja dia selama ini, ngapain aja, lo pasti ga percaya. Gue kenal dari Ustadz Malik. Dan gue baru tau, dia yang minta Ustadz Malik ngajakin gue umroh waktu itu. Dan ga Cuma gue, seluruh fotografer di Jakarta hijrah karena dia. Erlangga Panduwibowo, hijrah Bro!”. Wicak berusaha menjelaskan dengan gegap gempita kepada kedua sahabatnya itu dan berharap Sigit dan Ivan berubah.

“Seriously? Erlangga? Gilaaaaaaak, lo beneran serius?”, Ivan terperanjak. “Gue pikir dia mati karena sekarat”.

“Iya, gue pikir dia ga moto lagi.” Sigit mengernyitkan kening.

“Gini deh gaess, lo pada besok ikut gue ke Masjid Nurul Iman. Gue langsung kenalin ma Erlangga. Apple to apple. Lo bisa denger cerita langsung dari dia. Gimana”, Wicak memohon.

Pada akhirnya Sigit Prasetya dan Ivan Prakasa menghadiri majelis ilmu. Datang dengan hati lapang ke Masjid Nurul Iman. Bertemu dengan para pemudahijrah, berkenalan dengan para bikers sholih, menyapa para komunitas toekangphoto, komunitas mobil mahal, komunitas pengusaha muda yang sama-sama belajar untuk menjadi lebih baik. Sigit dan Ivan tak percaya bahwa di dunia ini masih ada anak-anak muda yang mau menjadi lebih baik di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang serba hedonis. Dan yang paling ditunggu, mereka berhasil bertemu dengan Erlangga Panduwibowo, sang fotografer yang kini berjenggot dengan pakaian sangat islami. Mereka tak percaya bahwa sahabat mereka Wicak berubah karena ini. Hati mereka kemudian tersadar. Ada benih-benih hidayah masuk ke relung hati mereka tatkala mendengar Ustadz Malik melantunkan Surat Ar Rahman dengan penuh penghayatan. Tak terasa air mata membasahi pipi mereka.
***
“Gue pengen ngilangin tatoo, Bro! lo tau yang ga bikin sakit dimana?” Ivan berbisik kepada Sigit dan Wicak setelah mereka selesai menunaikan sholat maghrib berjamaah. “Malu gue, gue pengen hijrah juga kali!”. Wicak dan Sigit tertawa.

“Ada, di Pekojan. Mau saya antar?” tiba-tiba sang fotografer Erlangga Panduwibowo menjawab sambil menyodorkan tangan kanannya ingin bersalaman. Ivan terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Ternyata, hijrah seindah ini Bro!.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sibling Rivalry

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)