Hatiku Bukanlah Baja


Karena hatiku bukanlah baja yang kuat dan tahan berbagai hantaman, hatiku melainkan langit yang maha luas, dan langit juga bisa menangis. Namun aku tegar, setegar karang yang rela dihantam bertubi-tubi dengan ombak, tetap berdiri tegak meskipun payah dan terombang-ambing karam.
 Senja diufuk barat terasa jingga menusuk kalbu, pekerjaan menjadi seorang amil adalah cinta sekaligus rahmat. Aku bahagia menjadi bagian dari perjuangan untuk mensejahterakan papa, tidak hanya aku yang mensyukuri takdir Allah, tapi juga Bapak dan Ibuku. Kedua orang tua yang berhasil menjadikanku anak terbaik secara sosial empati menurut mereka.

Barangkali ada seutas senyum merenda dalam sanubariku, aku sungguh rindu hari-hari kemarin. Senyum itu lantas berubah syahdu, melembut mesra menjadi titik-titik nadir di bawah pelupuk mata. Mataku basah, aku sesekali menengok ke luar. Bagaimana manusia bisa serapuh ini ya? Mungkin jika manusia tidak diberi rasa tegar dan sabar ia akan mudah sekali jatuh. Seperti buah yang rela jatuh karena terlalu matang.

Mungkin orang lain akan mudah sekali mengekspresikan kesedihan dengan air mata yang memang sengaja diperlihatkan di hadapan manusia. Entah apa maknanya, menangis agar terlihat, atau menangis agar dikasihani. Tidak denganku, aku tidak mungkin berteriak mengadu pada hati yang sudah terlanjut menganga kepada orang lain. Biarlah hati ini sepenuhnya berpasrah kepada sang pemilikNya.

Hatiku memang bukan baja, yang kuat dihantam apapun, tidak melepuh dengan cepat seperti besi. Bukan, hatiku sama sekali bukan baja. Melainkan hatiku adalah langit. Dan kau tau, langit juga bisa menangis. Menumpahkan segala bentuk keperihan hati. Tapi aku tidak mau menunjukkan nya kepada manusia. Tidak. Itu bukan aku.

Satu-satunya yang membuatku tersenyum adalah pekerjaanku. Ia seperti magnet yang memikat. Seperti aroma yang menusuk hidung. Menyengat tapi penuh gairah. Sedikit tapi pasti aku mencoba melupakan hari--hari kemarin. Fokus pada pekerjaan dan memulai aktivitas baru. Mungkin, menulis adalah pengobat rindu, pelipur lara, penyeka air mata.

Teringat tulisanku yang lama sekali tidak kusentuh. Sayang rasanya cerita yang kubuat dengan cinta berhenti begitu saja dalam draft. Lama sekali aku tak ada penyemangat dan ide. Pikiranku seperti berjalan tak tentu arah, dan tak ada cahaya sebagai penerang. Aku berada dalam titik gelap yang sungguh memilukan. Dan aku, tidak mau. Aku berusaha keluar dari pekatnya, aku berusaha sekuat tenaga. Walaupun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan.

Mungkin diluar sana, manusia akan melihatku sebagai sosok yang sangat kuat, tegar, tidak pernah punya masalah, selalu bahagia, tidak pernah berkeluh kesah. itu sosok yang sempurna dengan hati seperti baja. Tapi hatiku bukanlah baja. Hatiku seperti langit, dan langit juga bisa menangis.

Namun, di Ramadhan ini aku bertekad, sebesar apapun penghalang, aku akan kuat. Aku akan tegar setegar karang. Karang rela dihantam ombak bertubi-tubi, tapi ia tetap berdiri tegak. Tidak peduli bagaimana ombak itu menghantam. Ia tetap percaya pada takdir bahwa laut tidak akan pernah meninggalkannya. Seperti aku yang akan terus percaya bahwa Allah Maha Segalanya.

Aku mencintaimu Ya Rabb, sungguh, cintaMu lah yang menguatkanku...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Sibling Rivalry

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)