SANG ILUSTRATOR [PART 1]

Aroma pensil kayu yang kuasah dengan cutter lebih kusukai daripada aroma obat yang sering kujumpai sepanjang hidup. Warna magenta yang kuciptakan sendiri lebih kusukai daripada warna hijau kelambu di ruang praktek dokter milik Ayahku. Aku tidak butuh title untuk menjadi orang bermanfaat, aku hanya mengikuti lintasan hati dan pikiranku. Bahwa yang kukira benar dan kuyakini baik akan kuperjuangkan. Meskipun keluargaku melarang keras, melumpuhkan setiap inci impian yang terukir dalam mozaik hidupku,  aku tidak akan mundur begitu saja.

***
Hujan sore ini mengaburkan segala warna-warna imajinasi dalam pikiranku. Deadline lomba karya cipta Logo “The Future Riset and Technology” yang diselenggarakan Presiden untuk menjaring bakat generasi muda akan ditutup satu jam lagi. Ayah berteriak lagi, sama seperti hari-hari lalu. Dalam benakku selalu terngiang kata-kata itu “You must be a doctor, Ezra!”. Ayah tidak pernah menyerah memaksaku untuk mengikuti ambisinya agar aku, Ezra Farid Ramadhan menjadi seorang dokter, seperti beliau.
Lusa adalah hari terakhir pendaftaran masuk perguruan tinggi. Sungguh, dokter bukan cita-citaku. Tidak ada alasan bagi siapapun untuk memaksaku menjadi sesuatu yang bukan keinginanku. Ayah memang dokter terhebat, ya setidaknya yang kuketahui. Seluruh rumah sakit negeri dan swasta adalah tempat praktek ayahku. Siapa yang tidak mengenal dr. Farid Sanjaya, Sp.BS. Opps, aku bahkan harus memanggilnya dengan title lengkap. Spesialis Bedah Syaraf yang termasyur di negara ini. Mungkin Ayah akan malu jika aku anak laki-laki satu-satunya yang justru sama sekali tidak berminat kuliah kedokteran. Aku tetap pada keinginanku, aku ingin menjadi ilustrator. Seperti Nugroho Wijaya, yang karyanya bahkan mendunia. Dia ilustrator penyemangatku. Seluruh buku best seller, logo-logo perusahaan terkemuka, brand product hingga film dan cover CD music memakai design nya.
Hujan masih membasahi bumi, bahkan aku tidak sempat mengatakan kepada Ayah bahwa kamarku bocor. Aku mengendap-endap mengambil ember agar tidak ketahuan. Aku tidak suka Ayah masuk ke dalam kamarku. Ayah selalu memaki karya-karyaku. Membuat hatiku remuk. Namun, aku tetap menyayanginya. Sekalipun aku harus berhemat tidak membeli apapun kecuali sketchbook, pencil, drawing pen, watercolor. Apalagi aku harus segera menyelesaikan logoku untuk lomba itu.

*** 
Semalaman aku tidak bisa tidur. Bukan karena Ibu yang menangis karena Ayah berteriak lagi. Bukan karena itu. Hari ini adalah keputusan terberat. Esok hari terakhir mendaftar perguruan tinggi. Aku harus memiliki alasan logis agar Ayah berhenti memaksaku. Satu-satunya harapan adalah pengumuman Lomba Cipta Logo itu.

PEMENANG LOMBA KARYA CIPTA LOGO “The Future Riset and Technology”: Ezra Farid Ramadhan, 17, Semarang. Memenangkan beasiswa penuh S1 Fakultas Seni Rupa dan Desain Jurusan Desain Komunikasi Visual ITB serta Menjadi Penasehat Muda Ilustrasi Program Presiden Republik Indonesia.

            Allahu Akbar! Aku pemenangnya. Aku akan dihadapkan dengan seluruh warga Indonesia. Presiden akan memiliki penasehat muda. ITB? Bandung? Kota impian!. Aku sedikit ragu dengan press conference dan pemberian penghargaan yang akan Presiden lakukan kepadaku. Dihadapan khalayak? Ratusan masyarakat Indonesia? Mereka akan tau aku adalah anak dr. Farid Sanjaya, Sp.BS. Anak tunggal dokter bedah ternama. Masya Allah, Ayah! Bagaimana dengannya? Apakah ia akan setuju?. Kemudian jantungku berdetak amat kencang.

        “Ibu sudah tau Nak, mengenai hal itu. Ibu mendukung, apapun impian Ezra. Ibu akan mendukung.”tiba-tiba Ibu masuk ke dalam kamarku ketika aku sedang mencari-cari alasan untuk kujelaskan pada Ayah sepulang beliau dari Rumah Sakit.
            “Bagaimana dengan Ayah, Bu?”
            Hening. “Ayahmu pasti akan setuju, Ibu akan sekuat hati membujuknya”. Tetesan demi tetesan air mata jatuh di pelupuk mata Ibu
            “Terima Kasih, Bu”.Aku pun kemudian memeluknya erat.
            “Ezra, Ibu tau sejak kecil matamu selalu berbinar melihat lukisan di rumah sakit waktu itu kan? Kamu merengek minta dibelikan buku gambar dan pensil warna. Umurmu masih 6 tahun. Sejak itu Ibu sadar bahwa kamu memiliki bakat seni nak, menurun dari Almarhum Eyang Soetarno.”
            “Iya Bu, Lukisan di Paviliun Garuda itu. Lukisan Presiden merangkul anak-anak kecil. Eyang Soetarno? Alm Eyang dr. Soetarno Sastrodirejo, Sp.B? Kata Ayah keluarga besar kita seluruhnya dokter bukan? Ayah bahkan mengatakan tidak ada darah seni di keluarga kita Bu. Bahkan Ayah mengatakan Ezra bukan anaknya jika setiap hari yang dikerjakan hanya menggambar.”
            “Lukisan Presiden itu Eyang Soetarno pelukisnya, Ezra.” Ibu kemudian menutup mulutnya dan menangis kemudian hengkang dari kamarku.

            dr. Soetarno Sastrodirejo, Sp.B seorang pelukis? Sejarah keluargaku yang kelam. Eyang Soetarno kabarnya meninggal karena sengaja dijebak oleh tentara Belanda. Kala itu Eyang sedang bertugas di Rumah Sakit Garuda. Pihak rumah sakit meneleponnya lantaran ada pasien pejabat negara yang harus segera di operasi akibat terkena peluru penjajah. Ibu hanya mengatakan, Eyang kemudian ditemukan meninggal di meja operasinya. Serangan Jantung. Tidak ada pejabat negara yang akan dioperasi. Eyang dikenal dokter yang kritis terhadap dunia kedokteran, almarhum bahkan melawan kesewenang-wenangan tentara Belanda demi memberi pengobatan terbaik untuk pribumi. Tidak ada yang mengetahui cerita tepatnya.
            Darah seniku ternyata mengalir dari Eyang. Akan kubuktikan kepada Ayah bahwa seniman juga bermanfaat bagi masyarakat!.

***
Institut Teknologi Bandung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Jurusan Desain Komunikasi Visual, 2008

            Hari pertama masuk kuliah. Namaku ternyata dikenal seluruh mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain. Entah bagaimana caranya Ezra Farid Ramadhan begitu melejit di kampus technocrat ini. Aku menghela napas panjang, setiap kujumpa dengan rekan mahasiswa, mereka seperti menanyaiku macam-macam, interogasi tak berkesudahan bahkan pertanyaan-pertanyaan retoris yang tidak perlu kujawab. Seluruh komunitas dan Unit Kegiatan Mahasiswa bahkan berlomba-lomba merekrutku. Hmm… apa boleh buat, aku harus mengambil keputusan.
            Teman baik yang pertama kali menyapaku dengan baik itu bernama Muzzamil Al Ghifari. Aktivis Dakwah Kampus yang sangat santun, berprestasi, penghapal quran dan sering sekali dielu-elukan gadis di kampusku. Si mata elang. Ia baru saja menjuarai Olimpiade Robotics internasional. Peraih beasiswa master di Sorbone University, Perancis. Mahasiswa Teknik tingkat 2 yang juga aktivis social kemanusiaan. Aku teringat bagaimana media membungkam prestasi aktivis dakwah kampus di negeri ini. Aku tidak habis pikir kenapa media begitu jahat memberitakan bahwa aktivis dakwah kampus adalah sarang teroris. Sungguh tidak adil!. Justru, jika aku mendapat kesempatan bertemu dengan Mr. President, akan kubeberkan bagaimana luar biasanya mereka. Kuingat perjumpaan kala itu sehingga aku memutuskan untuk menjadi bagian dari Dakwah Kampus ITB.
            “Assalammualaikum, Sudah mau adzan, antum… mmm maaf, Ezra ayo kita ke masjid.”, sapa si Mata Elang membuyarkan konsentrasiku ketika membuat ilustrasi Program Pembangunan Manusia pesanan Paspampres yang harus segera kuselesaikan.
            “Waalaikumussalam, Mas, maaf, kamu tau nama ku?”, ternyata aku sedemikian terkenalnya sehingga akupun terkekeh dalam hati.
            “Siapa yang tidak kenal peraih beasiswa presiden yang terkenal itu? Yang setiap hari disambangi Paspampres?”, Si Mata Elang kemudian meraih tanganku dan mengajakku ke Masjid Salman. Masjid terbesar di kampusku.
           
            Selepas sholat dzuhur yang ternyata Muzzamil inilah imam sholat langganan masjid Salman ITB, kemudian kami berkenalan dan bercerita tentang kampus impian ini. Karakter mahasiswanya yang sangat mencintai buku, rela mengerjakan tugas hingga sepertiga malam, bahkan perpustakaan pun masih ramai di malam hari. Angkringan tidak pernah sepi, mahasiswa berderet-deret duduk melingkar mendiskusikan isu-isu terkini. Sungguh, kampus yang sangat kondusif.
            “Ezra sudah punya pilihan hendak mengikuti komunitas atau UKM apa?”
            Aku hanya menggeleng. “Mas Muzzamil ikut apa? Mungkin saya bisa join bareng?”
            Mas Muzzamil tertawa, “Biasanya seniman akan langsung acuh jika formulir menjadi Aktivis Dakwah Kampus ini kusodorkan”.
            Keputusanku sudah bulat. Aku akan menjadi aktivis dakwah kampus. Seperti Mas Muzzamil, yang santun dan berprestasi. Selera humornya juga tak kalah seru dengan teman-teman Fakultas Seni Rupa. Mas Muzzamil lebih berkelas. Setiap mengikuti kajian islam di Masjid Salman bada sholat dzuhur, aku menjadi sangat penasaran dengan komunitas religi ini. Tidak hanya Al Quran dan Hadist saja yang dibahas, bahkan sejarah serta seni juga didiskusikan. Yang membuatku semakin takjub, mereka adalah orang-orang dengan kapabilitas sangat baik di kampus. Ketua Senat, Ketua BEM, Mahasiswa Berprestasi, peraih beasiswa master, bahkan terkadang kami masuk ke ranah sosial. Melakukan penggalangan dana untuk mereka yang membutuhkan, tragedi kemanusiaan, dan selalu menjadi garda terdepan ketika mahasiswa membutuhkan keadilan. Berbeda sekali dengan orang-orang di luar sana katakan. Sungguh, menjadi bagian dari Lembaga Dakwah Kampus adalah keberuntungan.
            “Nonton bareng Mas? LDK ada agenda nonton bareng?”, aku terperangap tak percaya ketika Mas Muzzamil memintaku untuk membuat ilustrasi berbentuk komikstrip mengenai film “Cahaya”, film religi garapan teman-teman LDK ITB.
            “Ya, tembus XXI kabarnya. Cuman, ga sebanyak film roman, Bro. Bikin komikstrip ya, nanti saya kasih trailer dan reviewnya dari sutradara.” Mas Muzzamil kemudian membuka mushafnya dan mulai menghapal Surat Al A’raf yang harus segera ia setorkan ke Ustadz Ikrom sore ini.
            “Mas, akan saya coba buat. Cuman, saya ada pesanan ilustrasi Program dari Mr President. Soal Pembangunan Manusia. Deadline kapan Mas?. Afwan, saya menyela Mas Muzzamil menghapal.”
            “Grand Humanity Development” itu Bro? kalau boleh tau konsepnya seperti apa?”, Mas Muzzamil menutup mushafnya.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Mengapa Takut Pada Lara?