Senja Bersama Ayah

Mataku tetap terpejam, semilir angin mendekap mesra pada ruang-ruang kalbu. Tak terasa bulir-bulir air menetes di pipiku. Semakin deras semakin sesak rasanya. Aku membuka mata perlahan, ah... Sunset yang indah. Karya Illahi di depan mata ini tidak seharusnya kutangisi. Aku harus mencari bahagiaku yang lain.
***
Sudah satu tahun peristiwa paling menyedihkan itu hadir dalam benak Tiara, gadis sederhana yang sejak kecil hanya hidup berdua bersama Ayahnya. Ketika Allah panggil ia yang amat dicintainya, pelipur lara, oase di kala hati sedang tandus bahkan pelangi bagi hatinya. Sang Ayah. Tepat satu tahun lalu, kala itu hujan turun amat deras dan seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan amat keras hingga membuatnya tergesa-gesa membukakan pintu. Ternyata Pakdhe Dinar, kakak pertama Ayah yang tinggal satu kota dengan keluarganya. Tiara melirik mata Pakdhe Dinar yang basah dan merah serta wajahnya yang pucat. Pakdhe Dinar lalu mendekapnya dengan penuh kasih sayang. Tiara hanya menggeleng dan heran. Ada apakah gerangan?.

     "Allah lebih mencintai Ayahmu, Ra. Ayahmu dipanggil Allah, ikhlaskan. Ia lebih tenang jika Tiara mau mengikhlaskan", pakdhe Dinar melepaskan dekapannya sambil tergugu berucap.
     "Maksud Pakdhe? Ayah sedang bekerja di Jepang. Maksud Pakdhe apa? Baru saja tadi pagi Tiara bercerita panjang lebar melalui telepon. Tentang tulisan Tiara yang masuk best seller nasional dan foto sunrise tempo hari di Pacitan. Ga mungkin Pakdhe...Tiara...Tiara...", ia terduduk lemas sambil menutup matanya, menahan kebingungan dan kesedihan tak tertahankan.
     "Maafkan Ayahmu, ia sangat mencintaimu Ra. Ia tidak pernah dipindahtugaskan ke Jepang. Satu tahun ini ia menjalani pengobatan, kemoterapi berkali-kali, Ayahmu kanker otak. Maafkan Pakdhe tidak memberitahumu, Ayahmu melarang Pakdhe. Biarlah Tiara fokus pada kuliahnya dan cita-citanya menjadi penulis.", Pakdhe Dinar menjelaskan dengan parau.
     "Tiiiiidddaaa..kkk mungkin Pakdhe... Tidddaaa...kkkk, Astagfirullah Ya Rabbi...", suara tangisan Tiara memecah keheningan malam.

Kini, tak ada yang mendengar ceritanya setiap hari, memberi semangat dikala matahari terbit, pengobat rindu saat ia mengingat Ibu atau memberi kejutan kecil saat ulang tahunnya. Sang Ayah pergi meninggalkannya selamanya. Ia sebatang kara. Seperti kelopak bunga yang hilang dari tangkainya lalu terbang terbawa angin kesedihan. Seperti semburat senja yang tak terlihat karena langit gelap tertutup awan. Seperti cuaca mendung yang ambigu, hujan berhari-hari tidak pernah ada cahaya. Hatinya sendu, matanya sayu. Terlalu banyak kenangan yang ketika diingat menambah perih hatinya.

Tepat satu tahun sang pahlawan hatinya pergi meninggalkannya, ia duduk termenung di dalam kamar. Sama persis rasanya ketika Pakdhe Dinar memberitakan malam itu. Ia menatap jendela kamar, lalu menghela napas dalam. "Aku ikhlas Ayah... Ayah milik Allah.. Tiara akan berusaha menjadi anak sholihah, kita akan bertemu di surga. Ayah bahagia yaa disana.. bersama Ibu dan orang-orang baik lainnya, Tiara sudah jadi penulis ayah.. buku Tiara best seller dimana-mana, dan inspirasi Tiara masih sama, Ayah. Tiara suka nulis ditemani suara ombak paling merdu sedunia sambil menunggu senja, favorite kita Yah dan besok Tiara harus ke Jogja, ada bedah buku disana. Tiara bahagia Ayah..."

Dengan menunduk sambil menahan tangis Tiara berdoa. Doa yang sangat khusuk ia panjatkan kepada Sang Pencipta. Berbincang mesra pada Illahi membuat hatinya lebih tenang. Ia kemudian membuka mushafnya, sampai kepada surat favoritenya QS. Ar-Rahman, ia terdiam lama dan air matanya mengalir deras. Bagaimana mungkin Nikmat Allah didustakan, gumamnya dalam hati. Ia kemudian bangkit dan membuka almarinya. Beberapa buku yang hendak ia berikan ke pembaca saat bedah bukunya esok ia pegangi, ini karyanya. Karya terbaik yang menginspirasi banyak orang. Tidak sepatutnya ia terlalu lama berdiam pada kesedihannya. Merenungi setiap kenangan bersama Ayahnya. Kenangan tidak seharusnya ditangisi, justru dirawat sebagai bentuk penghormatan dan syukur pada Illahi.
***
Ketika bepergian ke luar kota entah untuk bedah buku atau mengisi workshop kepenulisan, ia lebih suka menaiki kereta. Alasannya, Kereta lebih romantis. Tiara bisa melihat sawah nan hijau di depan mata, hutan-hutan pinus berjejer rapi serta rumah-rumah penduduk yang mencairkan misteri. Gerbong kereta menyimpan kenangan indah bersama Ayah. Itu yang membuatnya tersenyum ketika menaiki kereta. Ada semangat yang ia tumbuhkan disana. Ayah pernah bercerita suatu hari ketika ia pergi mengunjungi nenek di Surabaya. Bandung-Surabaya cukup lama untuk bisa dinikmati apalagi jika bepergian bersama orang yang disayangi. Tiara mengingat setiap kata yang pernah ayahnya ceritakan, bahkan mimik muka, ekspresi bahkan kesenduan yang ayahnya rasakan, terekam jelas dalam pikirannya, hatinya pun meleleh jika mengingat apa yang diceritakan ayahnya itu.

            “Tiara, kau tau kenapa? Kenapa langit rasanya lebih dekat, kenapa sawah bisa kita lihat dengan indah, kenapa rumah-rumah penduduk bisa kita lihat hanya dari dalam kereta? Semua keindahan bisa kita lihat hanya dengan menaiki kereta. Tiara tau kenapa?”
            “Tidak tau Yah,,, memang sudah semestinya begitu kan?”
            “Tidak semua orang menyadari keindahan Illahi dalam kacamata hati sayang…”
            “Maksud Ayah? Tiara tidak mengerti”
            “Tidak semua orang memahami, bahwa kereta dapat membawa kita dalam mimpi-mimpi. Bagi orang kota yang tidak pernah melihat sawah karena pekerjaan mereka didalam gedung pencakar langit, tentu mimpi mereka adalah bisa melihat hamparan hijau nan teduh. Bagi orang yang tidak pernah melihat langit berwarna biru, jingga saat petang atau putih karena mereka disibukkan dengan perkerjaan dari pagi buta hingga tengah malam, tentu melihat langit di siang hari adalah mimpi mereka. Bahkan bagi orang yang tidak pernah melihat rumah-rumah penduduk berjejeran rapi karena rumah mereka berada di apartemen, tentu memiliki rumah impian yang bisa bercengkrama dengan tetangga adalah impian. Nah ketiga mimpi ini kita dapat saat menaiki kereta”
            “Jadi, seharusnya… Keindahan ini kita syukuri ya Yah? Karena kita berhasil mencuri mimpi-mimpi banyak orang? Tiara suka naik kereta. Gesekan rel nya khas dan melewati hamparan sawah atau hutan bikin tenang.”
            “Setiap keindahan yang kau temui dalam perjalanan seharusnya kau syukuri Nak, tidak semua orang melihat keindahan seperti ini dengan hati. Bahkan ada yang menganggapnya biasa saja. Hatimu lembut, Ayah yakin kau akan selalu mensyukuri nikmatNya, sweetheart.”

Tiara kemudian menghentikan kenangannya dan melepas pandangannya ke jendela. Ia kemudian menghela napas panjang dan berkata “Terlalu indah kenangan bersama Ayah.”
***
Bedah Buku “Jendela Hati” karangan Tiara Pramesti digelar dengan sangat meriah di sebuah toko buku terkemuka di Surabaya. Para pembaca setia yang menamakan diri mereka komunitas pembaca Rara Jingga, nama pena Tiara pun membanjiri acara. Mereka bersiap membawa buku best seller tersebut untuk bisa langsung di tanda tangani sang penulis.

Acara dimulai tepukan hangat para pembaca kemudian Tiara masuk ke panggung diiringi dengan binar-binar bahagia para pembaca setianya. Tiara duduk bersamaan dengan editor bukunya, Mas Ridho Hakim. Editor terkemuka penerbit yang melambungkan namanya, penerbit Qolbu Pustaka sekaligus sahabat terbaik sejak kuliah.
            “Siapakah yang paling berjasa dalam pembuatan buku “Jendela Hati” ini Mba Rara?, MC pun membuka dengan pertanyaan yang cukup membuat Rara menghela napas.
            “Ayah”, Tiara tak kuasa menahan air matanya.
            “Bisa diceritakan kepada pembaca disini Mba? Seberapa besar pengaruh Ayah Mba Rara dalam penulisan buku fenomenal ini?”
            “Setahun lalu sebelum ayah saya meninggal… Ayah lah yang berkeyakinan bahwa kelak saya akan menjadi penulis yang menginspirasi banyak orang. Ayah yang menemani saya menulis, membaca bahkan memberikan saran kepada saya menulis yang baik. Saya suka menulis di pantai Mba… Kadang Ayah sengaja menemani saya melihat senja untuk sekedar bercerita atau menilai tulisan-tulisan saya. Ayah sakit, kanker otak merenggut jiwanya. Kini ia tenang di sisi Allah. Mungkin jika bukan karena ayah, saya tidak akan menjadi seperti saat ini.”
Para pembaca pun menyeka derai airmata, tak kuasa menahan haru. Sungguh, karya terbaik yang ditulis dengan hati. Pertanyaan-pertanyaan dalam diskusi pun menjadi mengharu biru. Ada tawa, tangis dan rindu menjadi satu. Sang MC kemudian bertanya kepada sang editor, Ridho Hakim.
            “Bagaimana proses editing “Jendela Hati” ini Mas? Apakah butuh diskusi yang mendalam dengan Mba Rara?”
            Ridho tersenyum. “Sebenarnya saya tidak edit tulisan Mba Rara, hanya tanda baca saja yang saya kurangi atau tambahkan. Sayang jika ada satu kata atau kalimat yang saya edit. Begitu mengalir dengan indah setiap kata yang tertulis.”
            “Wah, baru kali ini editor begitu pasrah.”
            Tiara kemudian menjawab. “Bukan pasrah, saya yang terlalu idealis.”
Jawaban Tiara membuat para pembaca tertawa lepas. Sang MC kemudian menutup bedah buku dengan tepuk tangan. Acara diakhiri dengan penandatanganan buku Jendela Hati dan berfoto bersama.
***
Selepas acara bedah buku, Tiara ingin sekali berkunjung ke pantai. Ia tahu betul bagaimana melepas penatnya. Dulu ketika Ayah masih hidup, Tiara pernah berkunjung ke Pantai Kenjeran, salah satu pantai terindah di Surabaya. Sunsetnya indah.
            “Mas Ridho, kereta saya 3 jam lagi. Bisa antarkan saya ke Pantai Kenjeran? Saya ingin mencari inspirasi disana.”
            “Boleh, sunset disana indah. Bahkan ada buritan juga. Kamu bisa teriak atau menangis sepuasnya. Bukan sekedar mencari inspirasi kan? Ada kenangan yang terpatri dalam hatimu, Ra?”
            “Iya… Ayah Mas…”. Tiara kemudian memalingkan wajah.
Mengukir kenangan dalam hati memang indah, ada rasa bahagia berselimut duka disana. Bahagia karena pernah memiliki kenangan indah bersama orang tercinta. Namun ada duka yang masih teringat. Kematian.

Semburat senja mulai terlihat di barat, warna jingga keemasan di padu dengan birunya laut menambah rasa rindu kepada Ayah semakin membuncah. Tiara kemudian berlari menuju dermaga, ia rebahkan tubuhnya dan memandang langit. Tak terasa air matanya menetes perlahan. Ah, senja bersama Ayah!, gumamnya dalam hati. Ia seperti mengingat segala hal yang pernah terjadi. Tepat di dermaga ini, di pantai ini, Ayah pernah bercanda mesra dengannya. Bercerita tentang masa depan. Tentang cinta dan kebahagiaan.
            “Ayah boleh bertanya sayang?”
            “Yup, boleh dong Yah, ada apa?”
            “Siapa lelaki beruntung yang akan menemanimu meraih mimpi?”
            “Ayah!”
            “Ayah tidak selamanya di sisimu sayang, ayah berharap dia yang memahamimu, mencintaimu, menjagamu dengan penuh kasih. Yang mewujudkan mimpi-mimpimu, yang siap menjadi pelipur lara dan pengobat rindu.”
            “Seperti Ayah?”
            “Bukan Tiara.”
          “Lalu siapa Yah? Asal dia sholeh dan penyayang keluarga. Memuliakan ibunya, menghormati ayahnya, mencintai saudaranya. Itu sudah cukup Yah.”
            Ayah tersenyum. “Ridho datang pagi ini hendak melamarmu. Dia hanya mengatakan Saya Ingin Mencintai Allah bersama Tiara Pak, menggenapkan separuh agama saya bersama Tiara. Dia sholeh dan sangat mencintai keluarganya. Namun Ayah menyerahkannya padamu, sweetheart.
            “Ridho sahabat Tiara Ayah. Tiara belum siap.”

Tiara teringat jelas percakapan dengan Ayahnya kala itu, setahun lalu tepat sehari sebelum Ayah mengatakan dipindah kerja ke Jepang walau ternyata Ayah menjalani kemoterapi. “Siapa lelaki beruntung yang akan menemanimu meraih mimpi?.

            “Ra, senjanya indah.” Sang editor mulai membuka percakapan.
            Tiara hanya mengangguk
            “Azan sudah berkumandang Ra, kita sholat dulu. Keretamu jam 8 malam ini kan?”
            “Tiara hanya mengangguk
           “Kenanganmu bersama Ayah itu indah Tiara, tidak sepatutnya kamu hiasi dengan kedukaan. Sungguh, Ayahmu sudah bahagia bersamaNya. Ayo sholat, Allah sedang memanggilmu untuk bersujud kepadaNya.”
            “Mas Ridho, terima kasih. Sudah menjadi sahabat dan editor terbaik.
            “Sama-sama Ra, Besok saya hendak menemui Pakdhe Dinar. Saya harap Tiara berkenan.”

Tiara memejakan matanya. Dan menghela napas perlahan. Senyuman tipis terlihat di ujung bibirnya.
Mataku tetap terpejam, semilir angin mendekap mesra pada ruang-ruang kalbu. Aku Tidak lagi menangis. Aku membuka mata perlahan, ah... Sunset yang indah. Karya Illahi di depan mata ini tidak seharusnya kutangisi. Aku telah menemukan bahagiaku yang baru. Alhamdullilah Ya Allah, Terima Kasih Ayah. Aku sungguh mencintaimu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Mengapa Takut Pada Lara?