Hidup Bukanlah Kisah Dalam Sebuah Novel


Assalammualaikum readers, kebanyakan baca novel ternyata bikin kita punya dimensi imaji tersendiri yaa. Kebanyakan baca novel bikin kita jadi punya dunia sendiri. Mengambil ibrah dalam setiap kisah dan berusaha untuk lebih baik. Biasanya novel yang kubaca happy ending, walau di awal penuh lika-liku, bahkan kadang kala banyak penderitaan namun ending nya pasti bahagia. Jarang ada penulis yang punya twist datar aja sepanjang cerita jarang juga ada penulis yang bikin endingnya sad banget. Jarang.


Berhubung aku adalah penikmat sastra (banget), aku selalu menikmati lembar demi lembar buku yang kubaca. Biasanya sih suka nebak-nebak cerita, si ini pasti entar akhirnya begini si itu pasti akhirnya begitu. Tapi tidak dengan kehidupan kita sebenarnya, kita tidak bisa menebak dan pasti tebakan kita benar. Kita hanya dianjurkan untuk berprasangka baik kepada Allah. Berikhtiar maksimal pada setiap mimpi yang ingin kita perjuangkan dan yakin bahwa Allah sebaik-baik pemberi keputusan.

Hidup bukanlah kisah dalam sebuah novel. Karena hidup itu Allah yang menciptakan, prolog, overture, epilog, seluruhnya Allah yang mengatur. Sedangkan novel, penulislah yang memiliki hak jalan cerita. Dalam hidup, tidak selalu yang di awal penuh derita akan berakhir bahagia. Tidak selalu yang di awal penuh bahagia berakhir bahagia pula atau justru menderita. Tidak selalu. Karena Allah sebaik-baik penulis takdir. Takdir buruk maupun takdir baik sudah selayaknya kita terima dengan ikhlas. Ketidakadilan hanyalah persepsi. Allah Maha Adil, sebaik-baik penegak keadilan. Tidak ada sedetik saja kisah yang tidak tertulis dalam Lauh Mahfuznya, pun tak ada sedetik saja kejadian tanpa ijinNya. Semuanya pasti berhikmah.

“Sebab, apapun itu, bukankah hidup adalah untuk bergandeng tangan di jalan kebaikan dan membuat Allah tersenyum?” 


This is the real life, banyak cerita dan banyak kisah yang muncul tiba-tiba. Bukan jalan cerita yang bisa kita mainkan dengan episode atau bab baru seperti dalam sebuah novel. Kita hanya bisa merencanakan. Allah lah pemberi keputusan detik ke detik berikutnya. Dari yang paling bahagia hingga yang paling menyedihkan. Manusia memang bebas mengekspresikan setiap detik yang mereka lalui dengan perasaan beraneka ragam. Ada yang manis penuh tawa ada yang duka berselimut sendu. Bagiku, apapun ekspresinya seluruhnya adalah takdir dariNya.

Kadang, aku iri pada Aisyah di Novel ayat-ayat cinta. Ia begitu dicintai Fahri yang akhlaknya luar biasa. Cerdas berintelektual namun sholih dan hatinya dekat dengan RabbNya. Atau seperti Hanum yang memiliki kesempatan untuk mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah islam di Eropa. Menjelajahi Paris, Vienna, Cordoba, juga Inggris, negara impianku. Sungguh, hidup memang bukan cerita dalam sebuah novel. Yang bisa kita mainkan karakternya. Hidup adalah kenyataan. Karakter manusia pun sudah tertulis dalam Lauh Mahfuznya. Kita hanya diminta untuk memilih, menjadi protagonis atau antagonis.

Namun, yup, this is the real life. Aku harus hadapi ini. Bukan khayalan yang bisa kumainkan dalam angan-angan atau sekedar beradu dalam lintasan pikiran. Bukan. Bukan juga imaji yang bermain-main dalam sanubari. Aku harus berjuang untuk setiap mimpi, untuk setiap capaian hidup yang ingin kujalani. Terlalu sering memakai hati tidak baik juga. Karena hati kita memang bukan baja yang kuat menghadapi apapun, hati kita seperti langit yang maha luas, tapi langit juga bisa menangis. Maka cara terbaik adalah sabar, seperti hujan yang rela tumpah ke bumi untuk keindahan bernama pelangi. Aku harus lebih realistis memandang hidup. Lebih santun dan bijak menghadapi setiap episode kehidupan. Walau terluka tetap tersenyum, walau bahagia tetap tau porsi. Tidak berlebihan.

Namun kadang aku berpikir, bisa saja seluruh dongeng atau cerita fiksi dalam Novel menginspirasi kita untuk berbuat baik, lebih baik dan lebih baik lagi. Bisa saja kisah mengharu biru dalam novel menjadikan kita memiliki kekuatan mimpi yang lebih besar. Menjadikan kita manusia yang lebih bermanfaat bagi sesama. Seperti Novel Ayah, Andrea Hirata. Karena Novel itu aku menjadi amat sangat dekat dengan Bapak, menghabiskan waktu mengobrol bersama Bapak sambil berdiskusi hal-hal yang kadang serius. 

Sejak kecil aku ingin sekali menginjakkan kaki di Inggris dan Cordoba, entah kenapa mata selalu berbinar ketika mendapat cerita mengenai peradaban muslim disana. Seluruh informasi kudapatkan dari Novel. Setiap kata demi kata yang menceritakan mengenai kedua negara itu selalu menarik hati. Inspirasiku datang dari Novel yang kubaca. But, this is the real life. Aku harus berikhtiar untuk bisa menuju kesana bukan?.

Apapun yang terjadi dalam hidup, bagaimana situasinya, bagaimanapun cara Allah memberi ujian seluruhnya perlu kita hadapi dengan hati lapang. Jika kita memiliki mimpi yang ingin kita raih, maka persiapkan dari dini, kejar mimpi itu, ikhtiarkan semaksimal mungkin. Tawakal adalah kuncinya, jika tidak sesuai harapan maka jangan mengeluh juga jangan merasa tersudut. Karena hidup ini anugerah, yang setiap hela napasnya adalah rahmatNya.



Semangat!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Sibling Rivalry

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)