Membangun Negeri dengan Puisi

Aku kerani merindukan garis pantai
Di setiap pertemuan indah dahulu
Yang kuyup air mata merenyai ke dasar jiwa
Menyempurnakan hujan ke muara hati
Eko Tunas, 14 Juni 2013

Tiba-tiba ada buku kumpulan puisi berjudul Aorta di atas meja saya, Kumpulan puisi Eko Tunas yang baru saja tercetak. Subhanallah, inikah karya Bapak terbaru yang sengaja Bapak beritahukan tanpa kata dengan menaruhnya diatas meja saya?. 

Saya seakan flashback moment beberapa tahun yang lalu ketika Bapak bercerita mengenai pergulatan batin beliau tentang negeri ini. Obrolan kami awalnya mengenai sastra, apakah sastra bisa menjadi solusi bagi negeri ini? Apakah sastra bisa menghidupkan kematian `rasa` bernama empati dan kemanusiaan?. Apakah sastra bisa menjadi alat kebenaran bagi situasi politik saat ini? Barangkali penyair seperti Bapak bisa menjawabnya dengan mata berbinar.

Ada binar yang tak pernah redup saya tangkap dari kelopak mata sayu Bapak, ketika kami mengobrol serius soal sastra terutama puisi. Benarkah puisi bisa membangun negeri? Tentu saja, itu jawaban paling mantap yang Bapak lantunkan. Bahkan seorang Wiji Tukul, kawan bapak yang menjadi korban reformasi pun harus menelan pahit karena puisinya dianggap memprovokasi ke-chaos-an 98. Masya Allah, begitukah kehidupan penyair? Hidup dengan bahasa puitisnya namun harus mencengkram penderitaan?.

Puisi Bapak pun terlalu berani menantang pemerintah. Menurut saya, puisi beliau sangat idealis seperti halnya kehidupan beliau bersama saya dan adik-adik yang terlampau idealis. Bapak sangat idealis, tidak suka segala hal mengenai kapitalis, bahkan soal eksistensi sebagai sastrawan beliau lebih memilih berkarya tanpa penghargaan dan pengakuan. Biarlah karyanya hidup bersama mereka yang mencintai sastra. 

Terkadang saya tidak begitu paham benar soal puisi, ada bahasa yang asing per kata bahkan baitnya namun sangat indah dirasa. Begitulah sastra, ilmu yang berasal dari hati dan akan kembali kepada hati. Barangkali benar, puisi bisa membangun negeri. Seperti kisah Chairil Anwar yang sangat berani dengan puisi-puisinya, Taufik Ismail juga Bapak saya, Eko Tunas.

Dan saya lumayan tidak sabar menantikan novel terbaru Bapak berjudul Topeng Air Mata yang akan segera diterbitkan. Can`t wait 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Mengapa Takut Pada Lara?