MELUKIS LANGIT [1]

NOVEL PART I
HOPE

Semarang, 1997

Jam dinding coklat tua yang berdiri di sudut ruang tamu berdenting, waktu menunjukkan pukul 00.00. Suara jam dinding memekak telinga, seperti lonceng penanda bahwa ini sudah larut malam. Suara dentingannya memecah keheningan malam. Seakan bertasbih padaNya. Ditemani suara angin yang berhembus, seakan berzikir padaNya. Malam pun kian indah dengan bulan purnama dan bintang yang gemerlap. Di sudut ruangan lain, dekat dengan halaman belakang sayup-sayup terdengar seseorang sedang mengetik dengan mesin tik. Mesin tik tua pemberian sang ayah yang sudah lama sekali tahun pembuatannya. Suaranya semakin dekat dan semakin jelas. Seorang anak kecil berumur 7 tahun mendekat, bergelayut manja pada seorang pria paruh baya yang sedang berusaha mengetik sebuah naskah drama sambil sesekali mengelap keringat.

“Bapak…”, sang anak mengusap matanya sambil minta dipangku.
“Langit belum tidur?”, tanya Bapak.
“Belum… Langit mau dibacakan dongeng sambil Bapak nyanyikan, ayo Pak!”, ajak sang anak.

Bapak pun menghentikan pekerjaannya dan menggendong sang anak sulung, Sekar Langit Tunggadewi masuk ke dalam kamar. Kamar yang sempit, hanya 1 kasur kapuk kecil yang dipakai 3 orang anak. Sang Bapak kali ini menceritakan tentang Kisah Pemenang dengan peraga boneka kain yang Bapak buat sendiri untuk anak-anaknya. Boneka yang terbuat dari kapas yang dilapisi kain perca. Boneka tangan tersebut kemudian diperagakan setiap malam, sebagai pengantar tidur tiga anak kesayangannya. Si sulung nan lembut namun penuh keberanian, Sekar langit Tunggadewi, si adik yang cerdas, laut Biru Ikranegara dan si bungsu yang cengeng namun penuh perhatian, Arjunawan Syailendra.

Bapak memulai cerita dengan boneka tangannya. Suatu hari hiduplah seorang anak kecil yang baik hatinya, patuh pada kedua orang tuanya dan rajin pergi mengaji. Namanya… Langit. Langit memiliki adik, namanya laut dan Awan. Mereka anak-anak yang baik. Suatu malam sang kakak memohon kepada sang ibu untuk dibelikan baju dan kerudung karena esok hari Langit akan mengikuti lomba hapalan surat pendek di TPQ tempat ia mengaji. Esok harinya Langit terlihat begitu cantik dengan baju dan kerudungnya, bersiap untuk lomba hapalan. Sang juri, ustadz Sobari Al Hafidz memberikannya tantangan untuk membacakan surat Ad-dhuha. Dan Langit berhasil membacakannya. Pada akhirnya ia memenangkan perlombaan. Horeee… seluruhnya pun bahagia.

Langit pun terlelap sebelum Bapak menuntaskan ceritanya. Bapak selalu menceritakan kisah sebenarnya dari anak-anaknya. Bapak kemudian meletakkan boneka tangan di laci meja kemudian melirik piala kecil bertuliskan Juara Satu Lomba Hapalan Surat Pendek yang diletakkan di atas meja. Tak terasa air matanya menetes, menahan rasa haru yang mendera. Sang Bapak kemudian membenarkan selimut anak-anaknya. Langit, Laut dan Awan. Ketiga anak yang amat dicintainya. Tak lupa mencium kening mereka dan mendoakan mereka.
***
Bapak tak lantas pergi tidur, ia kembali ke naskah dramanya. Terus bekerja hingga sepertiga malam. Suara mesin ketik beradu dengan angin yang berhembus. Istrinya yang sedang hamil tua pun terbangun karena mesin tik yang tak pernah berhenti sepanjang malam.

“Naskahnya belum selesai Yang?”, panggilan sayang sang istri kepada suaminya.
“Belum Non, harus dikebut sebelum siang. Siang ini sudah harus dipakai untuk bahan latihan”, jawab sang suami.
“lalu bagaimana dengan lukisan pesanan Mas Anwar?”, sang istri bertanya sambil mengelus perutnya yang sangat besar.
“Insya Allah, hari ini selesai Non. Doakan ya.”, senyum sang suami yang menggetarkan istrinya cukup melegakan.

Menjadi istri seorang seniman memang luar biasa. Sering bekerja ke luar kota, jika di rumah bekerja hingga larut malam. Sungguh bersabar dan lembutnya hati sang istri. Mengurus segala keperluan sang suami walau harus tidur pagi hari. Menjadi Mrs. Edy Tetuko Harisastro memang sebuah takdir yang indah walau seluruh kerabat mengatakan tidak akan ada yang sanggup meladeni dan menjadi istri seorang Edy. Seniman yang tidak pernah terpikir akan memiliki keluarga. Seniman multitalenta yang di berikan karunia Allah sangat luar biasa.

Edy Tetuko Harisastro adalah anak dari seorang budayawan terkenal kota Jogjakarta,  Harisastro Soegarbo, pemilik sanggar seni Paramesthi, tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan di kota Jogjakarta. Harisastro Soegarbo adalah pemain wayang orang sanggar seni miliknya dan seorang dosen seni lukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI). Darah seni Harisastro turun dari ayahnya yaitu Soegarbo Admodirejo. Seorang pelukis terkenal pendiri sanggar seni Paramesthi. Darah seni memang selalu mengalir dalam keluarga besar mereka. Mereka adalah punggawa seni di kota kelahiran para budayawan dan seniman, Jogjakarta.

Sejak kecil Edy akrab dengan kanvas dan cat minyak serta segala hal yang berkaitan dengan wayang. Tak heran hingga dewasa ia tak pernah lepas dengan segala hal yang berkaitan dengan seni. Edy pernah kuliah di STSRI namun tidak tamat, ia memilih untuk pindah ke kota lumpia Semarang dan masuk ke IKIP jurusan seni lukis. Alasan keluar dari STSRI lantaran dirinya tidak tahan dengan tugas sang dosen untuk membuat lukisan pop kontemporer sebagai tugas akhirnya. Lukisan pop kontemporernya tidak lekas disetujui oleh pembimbing tugas akhir. Walau sang ayah, Harisastro adalah dekan di Fakultas Seni Rupa Murni, ia tak lantas menjadi spesial. Ia sama seperti mahasiswa yang lain. Tidak tahan dengan tugas akhir, Edy kemudian meminta keluar dan pindah ke Semarang.

Nasib baik berpihak padanya, ia bertemu dengan penyair sholeh bernama Endar Ainun Mujib. Lulusan Pondok Pesantren Munawar di Ngawi Jawa Timur. Seorang budayawan sholeh, priyayi yang gemar berpuisi dan menyanyi. Mereka satu kost, kemudian Endar mengenalkan Edy kepada kedua sahabat karibnya, Ebityasakti Garin Ade dengan sapaan Ebit, sang pemetik gitar yang pandai menyanyi dan Eko Hadi Kertanegara atau E.H Kertanegara, dengan sapaan Eha, sang jurnalis yang pandai memotret. Mereka kemudian menjadi sahabat karib. Mereka tidak satu kampus, Endar baru saja lulus dan tinggal di Semarang bekerja di sebuah penerbitan buku. Ebit dan Eha satu kampus. Sama-sama kuliah di Universitas Diponegoro. Mereka kemudian di kenal dengan 4E, empat sahabat karib berhuruf depan E. Endar, Edy, Ebit dan Eha.

Diantara mereka berempat, yang masih bergantung pada kiriman orang tua adalah Edy. Edy tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hingga suatu saat, Ebit mengisi acara musikalisasi puisi di suatu radio female stasion dan Edy yang mengantarnya. Edy hanya menunggu di mushola radio. Sambil membuat puisi, hal yang selalu ia lakukan dikala senggang. Ebit kemudian mengajak Edy masuk ke dalam ruang siaran. Pada saat itu Ebit dengan setengah mengerjai, meminta Edy memperkenalkan diri dan membacakan puisi nya, ON RADIO, tanpa persiapan. Edy pun dengan muka pucat dan berdegup kencang pada akhirnya membacakan puisinya, Ebit kemudian mengiringi dengan petikan gitarnya yang merdu.

Sang penyiar wanita pun diam-diam mengagumi puisi yang dibawakan Edy. Kemudian penyiar wanita Radio Female itu pun menawari Edy untuk mengisi acara musikalisasi puisi bersama Ebit. Edy yang membawakan dan Ebit yang mengiringi. Diam-diam sang penyiar wanita ini pun mengagumi sosok Edy. Diam namun bersahaja. Tidak bisa ditebak. Tersenyum simpul namun terkadang tertawa lebar. Edy pun diam-diam mengagumi si penyiar wanita yang ternyata bernama Wulandari Astuti itu. Namun kekaguman itu tak pernah terkatakan. Hingga suatu saat Edy tiba-tiba mengunjungi rumah Wulan dengan alasan latihan berpuisi dan ternyata puisi indah itu ditujukan untuk melamar Wulan dan sepekan setelahnya keluarga besar Edy dari Jogjakarta secara resmi melamarnya. Wulan hanya gadis biasa pada saat itu, ia memang tak memiliki ayah sejak kecil. Wulan tinggal bersama Ibu asuhnya yang ia panggil Mamah dan ibu kandungnya yang melahirkannya yang ia panggil Ibu. Keluarga besar Harisastro pun akhirnya melamarnya.

Awal pertemuan yang indah di kantor siaran radio female, puisi-puisi yang indah yang dibacakan disetiap acara radio female sabtu malam serta suara indah penyiar ternyata dapat menyatukan dua insan manusia. Keluarga besar Harisastro awalnya menyangsikan apakah Edy Tetuko Harisastro bisa berumah tangga. Ia dikenal pria egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Berdiam diri di dalam kamar dengan puisi dan lukisan-lukisannya. Tidak mau mengalah terhadap segala hal dan belum mampu menjadi suami yang baik. Bahkan di hari pernikahan, Wulan diberikan pesan yang sangat rahasia oleh keluarga besar Harisastro mengenai kesabaran. Wulan tidak akan sanggup menikah dan berumah tangga dengan Edy Tetuko, sang seniman serba bisa ini.
***
Sang istri, Wulandari Astuti dengan sabar membangunkan anak-anak mereka, Langit, Laut dan Awan untuk shalat shubuh berjamaah. Langit paling semangat untuk bangun dan mengambil air wudhu diikuti dengan Awan sang bungsu. Laut memang susah jika dibangunkan, Wulan harus menggendongnya dengan sabar. Kandungan Wulan sudah masuk 8 bulan. 1 bulan lagi bayi dalam kandungan akan lahir. Bahkan menurut dr. Wen, dokter kandungan Wulan, bayi dalam perutnya kembar, dan berjenis kelamin berbeda. Laki-laki dan Perempuan. Walaupun hamil tua, Wulan tetap mengerjakan pekerjaan rumah dengan sangat sigap, bangun di sepertiga malam untuk shalat tahajud, siap-siap mencuci baju, menyetrika, memasak, membangunkan shubuh ketiga anaknya, menyiapkan sarapan dan baju sekolah anak-anaknya, menyiapkan bekal untuk dibawa bahkan mengantarkan Laut yang masih TK ke sekolah sambil menggendong Awan yang masih balita. Sang suami, Edy belum tidur malam ini, ia masih di depan mesin ketik. Menyelesaikan naskah dramanya.

Naskah drama berjudul Gerbong Kereta itu akan dipentaskan oleh Sanggar Seni Raden Saleh pekan depan. Siang ini naskah drama harus jadi, naskah drama itu akan dibeli oleh pemilik Sanggar Seni Raden Saleh, Pak Tony Wijaya. Edy harus segera menyelesaikannya. Besok adalah jatuh tempo membayar sekolah Langit dan Laut. Pembayaran sekolah tidak boleh terlambat. Listrik dan Air pun tidak boleh terlambat. Sisanya bisa ditabung untuk persiapan kelahiran bayi kembar bulan depan.

“Anak-anak sudah berangkat, Non?”, tanya Edy sambil terus mengetik.
“Sudah Yang, Non bersiap berangkat siaran ya. Ada nasi dan sayur di meja makan. Awan Non bawa. Sayang belum tidur malam ini kan? Lukisan pesanan Pak Anwar dikerjakan besok saja, istirahatlah!”, pesan sang istri kepada suaminya.
“Tidak Non, lukisan Pak Anwar harus selesai, tinggal sedikit lagi. Besok akan diambil. Biar uangnya segera cair. Mas sudah cerita pada Non belum? Pekan depan Mas akan bekerja ikut Endar ke Jakarta”, Edy kemudian menghentikan ketikannya.
“Jakarta? Apa harus pekan depan berangkat? Ada proyek dengan Endar?”, tanya Wulan sambil mengernyitkan keningnya kemudian duduk di hadapan suaminya.
“Proyek Ngaji Berpuisi Non, Endar sekarang Kiai terkenal, ia ingin setiap tausiyahnya diakhiri dengan musikalisasi puisi. Mas diminta mengurus puisi-puisi yang akan dibawakan. Mas harus ke Jakarta. Ini demi keluarga kita. Non ijinkan?”, pinta Edy.
“Non sedang hamil tua Yang, tidakkah ini terlalu cepat”, Wulan memohon
“Mas yakin, engkau istri yang bisa mengurus segalanya dengan baik. Si kembar dalam perut ini akan bangga dengan Ibunya yang tangguh!”, Edy mengatakan sambil meyakinkan sang istri.
“Baiklah, jika memang itu yang terbaik. Non sudah terlambat. Non harus segera ke radio. Ada jadwal siaran siang ini.”
“Ya, nanti akan Mas dengarkan suara indahmu Non, Love you!”.

Kesabaran Wulan benar-benar diuji. Ketika hamil tua ia tetep mengurus rumah dan anak-anak sendiri. Sementara sang suami bekerja di perantauan. Sungguh seorang istri yang sholihah, lembut hatinya dan mulia akhlaknya. Anggapan keluarga besar bahwa tidak aka nada yang sanggup meladeni seorang Edy Tetuko ia patahkan. Kesabaran dan cintanya yang tulus membuktikannya.

Setelah menyelesaikan naskah drama berjudul Gerbong Kereta, Edy meneruskan lukisannya. Lukisan keluarga pesanan sahabatnya, Anwar Hudaya yang akan dihadiahkan untuk sang istri di hari pernikahannya. Edy Tetuko sering sekali mendapat pesanan lukisan keluarga, banyak pelanggan memuji lukisannya. Lukisan yang indah, penuh dengan cinta. Karena memang dilukis dengan segenap jiwa. Menjadi pelukis adalah cita-cita Edy sejak kecil. Darah seni mengalir dalam tubuhnya. Sang Ayah, Harisastro lah yang menurunkan darah seni lukis pada Edy. Melukis tidak hanya bermain warna dan menerjemahkan imajinasi melalui bahasa gambar. Melukis adalah bahasa jiwa, ia tidak hanya dapat mengungkapkan perasaan namun menumbukan cinta. Selain melukis, Edy mencintai sastra. Puisi, cerpen, novel bahkan naskah drama pun ia buat. Darah seni memang teramat kental mengalir. Ia berharap kelak anak-anaknya pun mencintai seni.

Satu frekuensi hati membuat dua insan manusia yang sama sekali tidak kenal sebelumnya menjadi sangat mengenal dan saling mencintai. Wulan bersyukur menikahi seorang Edy Tetuko. Ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi istri ter bahagia, ia hanya berharap memiliki keluarga bahagia. Yang setiap detiknya adalah kebahagiaan, yang setiap langkah kakinya adalah keberkahan. Wulan memang istri yang sangat baik, ia tidak pernah melewatkan satu malam pun untuk mendoakan suami dan anak-anaknya. Terkadang air mata dan isakan pun berdebur menjadi satu kesatuan, air mata bahagia bisa merajut kasih bersama seorang seniman hebat kebanggaan Indonesia.

***
Satu bulan bukan waktu yang mudah menjalani kehidupan tanpa seorang suami di sisi, Edy memutuskan untuk bekerja di Jakarta bersama sahabatnya Endar. Wulan tentu mendukung setiap keputusan suaminya itu. Hari demi hari ia lalui dengan bahagia. Bersama ketiga anaknya yang luar biasa. Langit, sang sulung hari ini mulai belajar mandiri. Anak berumur 7 tahun itu berani berangkat sekolah sendiri, pulang sekolah sendiri serta mengaji sendiri. Anak kelas 1 SD yang sangat berani. Jarak rumah dengan sekolah memang tidak terlalu jauh, namun untuk mengaji di sore hari, Langit harus menaiki angkutan umum. Wulan sang ibu begitu yakin bahwa Langit bisa mandiri. Begitu pula dengan Laut yang masih TK kecil, ia berangkat sekolah dan pulang sekolah bersama Langit karena sekolah mereka berdekatan. Terkadang sepulang sekolah mereka tidak langsung pulang, mereka bermain di pasar. Mengejar anak-anak kucing, memberi makan ikan dengan uang tabungan mereka dan mengajak anak-anak kucing pasar bermain manja. Wulan tidak pernah melarang, ia hanya memberi nasehat terbaik sebagai seorang ibu.

“Langit sayang, jangan lupa beri makan si meong nanti siang ya. Tapi setelah itu cuci tangan dan pulang ke rumah. Makan siang dan sholat zuhur, setelah itu….”
“Setelah itu bobok siang Ibu… Karena langit harus mengaji. Hari ini Langit naik ke jilid 5 Bu…”
“Wah, selamat nak, pintar!”.

Wulan tidak pernah khawatir dengan anak-anak mereka. Biarkan mereka menikmati masa kecilnya seperti layaknya anak-anak kebanyakan. Yang paling penting mereka berpegang teguh pada prinsip, mau mengaji dan sholat juga belajar. Langit tidak pernah menangis, ia seperti bunga edelweiss di kaki gunung. Tidak pernah takut dengan apapun, ia sangat berani. Langit suka sekali mengaji. Setiap perlombaan hapalan surat pendek, Langit selalu juara. Inikah mutiara surga keluarga Edy Tetuko, yang kilaunya membias hingga relung-relung hati kedua orang tuanya. Laut yang masih duduk di kelas TK kecil pun tidak kalah pintarnya. Sejak masuk sekolah TK ia sudah bisa mandi sendiri, mengambil makanannya sendiri, dan memberi makan adiknya Awan. Walau masih perlu dibantu, setidaknya Laut menuruni sifat kakak perempuannya yang juga mandiri. Namun Laut suka menangis jika keinginannya tidak terpenuhi. Jika Laut menangis, Wulan tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan menenangkan anaknya itu dengan nyanyian atau cerita dongeng seperti Bapaknya lakukan. Ia seperti oase yang menyegarkan, anak kedua keluarga yang cerdas dan penuh semangat.

Dr. Wen mengatakan bahwa Hari lahir si kembar dalam kandungan sepekan lagi. Wulan sang ibu masih bekerja, menjadi penyiar radio di radio female sekaligus Ibu nomor satu untuk Langit, Laut dan Awan. Awan masih balita dan sering ia ajak bekerja. Menjadi wanita karir sambil mengurus anak tidaklah mudah apalagi sang suami bekerja di luar kota. Namun Wulan begitu menikmatinya. Pagi-pagi sekali ia sudah siap, setelah Langit dan Laut berangkat sekolah ia sengaja mengunjungi tetangganya, membawakan satu piring pudding coklat buatannya.

Langit sering memanggil tetangga sebelah rumah mereka dengan sebutan Budhe cantik. Seorang wanita janda yang memiliki 3 anak perempuan yang juga cantik. Orang kampung memanggilnya Budhe Lis, seorang penjual warung kelontong yang sederhana. Wulan sering sekali mengunjungi Budhe Cantik, sekedar memberikan makanan buatannya atau membeli kebutuhan rumah tangga di warungnya. Kali ini Wulan meminta tolong kepada tetangganya itu.

“Budhe, 1 minggu lagi saya lahiran. Nitip Langit dan Laut ya dhe’, Bapaknya masih di Jakarta.”
“Siap Mbak Wulan, Langit kan udah biasa main disini to, Laut juga. Pokoke beres.”

Entah ini sebuah firasat atau takdir berbicara, sore harinya sepulang kerja, Wulan merasakan kontraksi yang teramat dahsyat. Si kembar akan lahir dan Edy masih di Jakarta. Dengan penuh ketenangan ia meminta Langit memanggil Budhe Cantik. Tetangga mulai berdatangan dan bersiap membawa Wulan ke rumah sakit terdekat. Detik-detik menuju kelahiran sungguh sangat menegangkan. Dr. Wen mengatakan bahwa salah satu bayi kembar laki-laki sudah lahir dengan selamat, namun Subhanallah luar biasa, si kembar perempuan masih di dalam perut dalam keadaan terlintang. Dokter harus segera mengambil tindakan Caesar. Tidak ada tetangga yang berani menandatangani surat persetujuan Caesar. Siapa yang akan bertanggungjawab jika ada sesuatu yang tidak diingankan. Detik terus berjalan dan surat persetujuan belum juga ditandatangani.

Budhe Cantik sejak tadi tidak tenang, ia terus menghungi Edy Tetuko melalui Endar namun tidak juga diangkat. Si kembar harus segera dilahirkan dengan Caesar. Di sisi lain, di sebuah tempat nan jauh disana, Edy yang sedang mendampingi Endar memberikan tausiyah roadshow tiba-tiba merasa tidak enak hati. Keringat dinginnya bercucuran, ia merindukan dengan sangat sosok Wulan yang tersenyum kepadanya juga rindu yang membuncah kepada ketiga anak-anaknya, Langit, Laut dan Awan. Rasanya ia ingin sekali menghubungi mereka sesegera mungkin. Ada perasaan ingin pulang dan memeluk keluarganya. Inilah ikatan batin antara suami istri yang saling mencintai dengan sebenar hati. Sang istri sedang berjuang melahirkan buah hati mereka. Budhe cantik akhirnya menandatangani surat persetujuan tindakan operasi Caesar. Masya Allah, semoga Allah berikan kelancaran dalam proses operasi. Dua jam berjalan sang bayi kembar perempuan lahir kedunia. Dua bayi kembar yang tangguh, dilahirkan dengan penuh perjuangan oleh ibu yang tangguh.

***
Edy menerima kabar yang sangat membahagiakan ketika ia baru saja membacakan puisi di akhir tausiyah Endar berjudul Keluargaku Surgaku. Ia pun bergegas menelpon sang istri untuk memastikan.

“Assalammualaykum. Non… bagaimana dengan si kembar? Masya Allah, maafkan mas tidak bisa mendampingi dalam perjuanganmu. Akan kuazankan mereka.”
“Waalaykumussalam. Alhamdullilah lancar Mas, yang kedua Caesar. Iya silahkan azankan mereka”.

Kemudian dengan tangisan penuh haru di balik telepon, sang ayah mengazankan mereka dengan penuh kekhusukan. Subhanallah malam yang sungguh syahdu diiringi azan yang berkumandang. Dua bayi kembar mendengar asma Allah untuk yang pertama kalinya, berharap kelak sholih dan sholihah, pejuang dakwah yang cerdas dan istiqomah. Seakan malam itu semesta pun bertasbih mengiringi kelahiran si kembar yang berbeda jenis kelamin itu.

“Non, Mas sudah mempersiapkan nama untuk anak kita, semoga Non suka. Fajar Gumilang dan Senja Gemintang. Bagaimana?”
“Nama yang bagus Mas… seperti fajar di pagi hari dan senja di sore hari. Mereka akan menjadi anak-anak yang luar biasa kelak.”
“Alhamdullilah. Mas akan pulang besok Non, Love you so much my sweetheart.”

Sang ayah sungguh berharap Fajar Gumilang kelak dapat menyinari keluarga mereka, sinar harapan yang pendarnya masuk dalam celah-celah hati setiap orang yang menemuinya, yang bisa menjadi cahaya kehidupan bagi keluarga mereka. Begitu pula dengan Senja Gemintang, berharap bahwa Senja bisa melengkapi keindahan keluarga mereka dengan semburatnya yang indah. Harapan Wulan dan Edy adalah memiliki anak yang sholih dan sholihah, berbakti kepada bangsanya, cerdas dan istiqomah berjuang untuk kebaikan, dan tentu mencintai seni sebagai napas kehidupan mereka.

HOPE.
To be continued…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Samudra

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Mengapa Takut Pada Lara?