MELUKIS LANGIT [1]
NOVEL
PART I
HOPE
Semarang,
1997
Jam dinding coklat tua yang
berdiri di sudut ruang tamu berdenting, waktu menunjukkan
pukul 00.00. Suara jam dinding memekak telinga, seperti lonceng penanda bahwa
ini sudah larut malam. Suara dentingannya memecah keheningan malam. Seakan
bertasbih padaNya. Ditemani suara angin yang berhembus, seakan berzikir
padaNya. Malam pun kian indah dengan bulan purnama dan bintang yang gemerlap. Di
sudut ruangan lain, dekat dengan halaman belakang sayup-sayup terdengar seseorang
sedang mengetik dengan mesin tik. Mesin tik tua pemberian sang ayah yang sudah
lama sekali tahun pembuatannya. Suaranya semakin dekat dan semakin jelas.
Seorang anak kecil berumur 7 tahun mendekat, bergelayut manja pada seorang pria
paruh baya yang sedang berusaha mengetik sebuah naskah drama sambil sesekali
mengelap keringat.
“Bapak…”, sang anak mengusap
matanya sambil minta dipangku.
“Langit belum tidur?”, tanya
Bapak.
“Belum… Langit mau dibacakan
dongeng sambil Bapak nyanyikan, ayo Pak!”, ajak sang anak.
Bapak pun menghentikan
pekerjaannya dan menggendong sang anak sulung, Sekar Langit Tunggadewi masuk ke
dalam kamar. Kamar yang sempit, hanya 1 kasur kapuk kecil yang dipakai 3 orang
anak. Sang Bapak kali ini menceritakan tentang Kisah Pemenang dengan peraga
boneka kain yang Bapak buat sendiri untuk anak-anaknya. Boneka yang terbuat
dari kapas yang dilapisi kain perca. Boneka tangan tersebut kemudian
diperagakan setiap malam, sebagai pengantar tidur tiga anak kesayangannya. Si
sulung nan lembut namun penuh keberanian, Sekar langit Tunggadewi, si adik yang
cerdas, laut Biru Ikranegara dan si bungsu yang cengeng namun penuh perhatian,
Arjunawan Syailendra.
Bapak memulai cerita dengan
boneka tangannya. Suatu hari hiduplah
seorang anak kecil yang baik hatinya, patuh pada kedua orang tuanya dan rajin
pergi mengaji. Namanya… Langit. Langit memiliki adik, namanya laut dan Awan.
Mereka anak-anak yang baik. Suatu malam sang kakak memohon kepada sang ibu untuk
dibelikan baju dan kerudung karena esok hari Langit akan mengikuti lomba
hapalan surat pendek di TPQ tempat ia mengaji. Esok harinya Langit terlihat
begitu cantik dengan baju dan kerudungnya, bersiap untuk lomba hapalan. Sang
juri, ustadz Sobari Al Hafidz memberikannya tantangan untuk membacakan surat
Ad-dhuha. Dan Langit berhasil membacakannya. Pada akhirnya ia memenangkan
perlombaan. Horeee… seluruhnya pun bahagia.
Langit pun terlelap sebelum
Bapak menuntaskan ceritanya. Bapak selalu menceritakan kisah sebenarnya dari
anak-anaknya. Bapak kemudian meletakkan boneka tangan di laci meja kemudian
melirik piala kecil bertuliskan Juara Satu Lomba Hapalan Surat Pendek yang
diletakkan di atas meja. Tak terasa air matanya menetes, menahan rasa haru yang
mendera. Sang Bapak kemudian membenarkan selimut anak-anaknya. Langit, Laut dan
Awan. Ketiga anak yang amat dicintainya. Tak lupa mencium kening mereka dan
mendoakan mereka.
***
Bapak tak lantas pergi tidur,
ia kembali ke naskah dramanya. Terus bekerja hingga sepertiga malam. Suara
mesin ketik beradu dengan angin yang berhembus. Istrinya yang sedang hamil tua
pun terbangun karena mesin tik yang tak pernah berhenti sepanjang malam.
“Naskahnya belum selesai Yang?”,
panggilan sayang sang istri kepada suaminya.
“Belum Non, harus dikebut
sebelum siang. Siang ini sudah harus dipakai untuk bahan latihan”, jawab sang
suami.
“lalu bagaimana dengan lukisan
pesanan Mas Anwar?”, sang istri bertanya sambil mengelus perutnya yang sangat
besar.
“Insya Allah, hari ini selesai
Non. Doakan ya.”, senyum sang suami yang menggetarkan istrinya cukup melegakan.
Menjadi istri seorang seniman
memang luar biasa. Sering bekerja ke luar kota, jika di rumah bekerja hingga
larut malam. Sungguh bersabar dan lembutnya hati sang istri. Mengurus segala
keperluan sang suami walau harus tidur pagi hari. Menjadi Mrs. Edy Tetuko
Harisastro memang sebuah takdir yang indah walau seluruh kerabat mengatakan
tidak akan ada yang sanggup meladeni dan menjadi istri seorang Edy. Seniman
yang tidak pernah terpikir akan memiliki keluarga. Seniman multitalenta yang di
berikan karunia Allah sangat luar biasa.
Edy Tetuko Harisastro adalah
anak dari seorang budayawan terkenal kota Jogjakarta, Harisastro Soegarbo, pemilik sanggar seni
Paramesthi, tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan di kota Jogjakarta. Harisastro
Soegarbo adalah pemain wayang orang sanggar seni miliknya dan seorang dosen
seni lukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI). Darah seni Harisastro
turun dari ayahnya yaitu Soegarbo Admodirejo. Seorang pelukis terkenal pendiri
sanggar seni Paramesthi. Darah seni memang selalu mengalir dalam keluarga besar
mereka. Mereka adalah punggawa seni di kota kelahiran para budayawan dan
seniman, Jogjakarta.
Sejak kecil Edy akrab dengan
kanvas dan cat minyak serta segala hal yang berkaitan dengan wayang. Tak heran
hingga dewasa ia tak pernah lepas dengan segala hal yang berkaitan dengan seni.
Edy pernah kuliah di STSRI namun tidak tamat, ia memilih untuk pindah ke kota
lumpia Semarang dan masuk ke IKIP jurusan seni lukis. Alasan keluar dari STSRI
lantaran dirinya tidak tahan dengan tugas sang dosen untuk membuat lukisan pop
kontemporer sebagai tugas akhirnya. Lukisan pop kontemporernya tidak lekas
disetujui oleh pembimbing tugas akhir. Walau sang ayah, Harisastro adalah dekan
di Fakultas Seni Rupa Murni, ia tak lantas menjadi spesial. Ia sama seperti
mahasiswa yang lain. Tidak tahan dengan tugas akhir, Edy kemudian meminta
keluar dan pindah ke Semarang.
Nasib baik berpihak padanya, ia
bertemu dengan penyair sholeh bernama Endar Ainun Mujib. Lulusan Pondok
Pesantren Munawar di Ngawi Jawa Timur. Seorang budayawan sholeh, priyayi yang
gemar berpuisi dan menyanyi. Mereka satu kost, kemudian Endar mengenalkan Edy
kepada kedua sahabat karibnya, Ebityasakti Garin Ade dengan sapaan Ebit, sang
pemetik gitar yang pandai menyanyi dan Eko Hadi Kertanegara atau E.H
Kertanegara, dengan sapaan Eha, sang jurnalis yang pandai memotret. Mereka
kemudian menjadi sahabat karib. Mereka tidak satu kampus, Endar baru saja lulus
dan tinggal di Semarang bekerja di sebuah penerbitan buku. Ebit dan Eha satu
kampus. Sama-sama kuliah di Universitas Diponegoro. Mereka kemudian di kenal
dengan 4E, empat sahabat karib berhuruf depan E. Endar, Edy, Ebit dan Eha.
Diantara mereka berempat, yang
masih bergantung pada kiriman orang tua adalah Edy. Edy tidak memiliki
pekerjaan sampingan. Hingga suatu saat, Ebit mengisi acara musikalisasi puisi
di suatu radio female stasion dan Edy
yang mengantarnya. Edy hanya menunggu di mushola radio. Sambil membuat puisi,
hal yang selalu ia lakukan dikala senggang. Ebit kemudian mengajak Edy masuk ke
dalam ruang siaran. Pada saat itu Ebit dengan setengah mengerjai, meminta Edy
memperkenalkan diri dan membacakan puisi nya, ON RADIO, tanpa persiapan. Edy
pun dengan muka pucat dan berdegup kencang pada akhirnya membacakan puisinya,
Ebit kemudian mengiringi dengan petikan gitarnya yang merdu.
Sang penyiar wanita pun
diam-diam mengagumi puisi yang dibawakan Edy. Kemudian penyiar wanita Radio
Female itu pun menawari Edy untuk mengisi acara musikalisasi puisi bersama
Ebit. Edy yang membawakan dan Ebit yang mengiringi. Diam-diam sang penyiar
wanita ini pun mengagumi sosok Edy. Diam namun bersahaja. Tidak bisa ditebak.
Tersenyum simpul namun terkadang tertawa lebar. Edy pun diam-diam mengagumi si
penyiar wanita yang ternyata bernama Wulandari Astuti itu. Namun kekaguman itu
tak pernah terkatakan. Hingga suatu saat Edy tiba-tiba mengunjungi rumah Wulan
dengan alasan latihan berpuisi dan ternyata puisi indah itu ditujukan untuk melamar
Wulan dan sepekan setelahnya keluarga besar Edy dari Jogjakarta secara resmi
melamarnya. Wulan hanya gadis biasa pada saat itu, ia memang tak memiliki ayah
sejak kecil. Wulan tinggal bersama Ibu asuhnya yang ia panggil Mamah dan ibu
kandungnya yang melahirkannya yang ia panggil Ibu. Keluarga besar Harisastro
pun akhirnya melamarnya.
Awal pertemuan yang indah di
kantor siaran radio female, puisi-puisi yang indah yang dibacakan disetiap
acara radio female sabtu malam serta suara indah penyiar ternyata dapat
menyatukan dua insan manusia. Keluarga besar Harisastro awalnya menyangsikan
apakah Edy Tetuko Harisastro bisa berumah tangga. Ia dikenal pria egois yang
hanya mementingkan dirinya sendiri. Berdiam diri di dalam kamar dengan puisi
dan lukisan-lukisannya. Tidak mau mengalah terhadap segala hal dan belum mampu
menjadi suami yang baik. Bahkan di hari pernikahan, Wulan diberikan pesan yang
sangat rahasia oleh keluarga besar Harisastro mengenai kesabaran. Wulan tidak
akan sanggup menikah dan berumah tangga dengan Edy Tetuko, sang seniman serba
bisa ini.
***
Sang istri, Wulandari Astuti dengan
sabar membangunkan anak-anak mereka, Langit, Laut dan Awan untuk shalat shubuh
berjamaah. Langit paling semangat untuk bangun dan mengambil air wudhu diikuti
dengan Awan sang bungsu. Laut memang susah jika dibangunkan, Wulan harus
menggendongnya dengan sabar. Kandungan Wulan sudah masuk 8 bulan. 1 bulan lagi
bayi dalam kandungan akan lahir. Bahkan menurut dr. Wen, dokter kandungan Wulan,
bayi dalam perutnya kembar, dan berjenis kelamin berbeda. Laki-laki dan Perempuan.
Walaupun hamil tua, Wulan tetap mengerjakan pekerjaan rumah dengan sangat
sigap, bangun di sepertiga malam untuk shalat tahajud, siap-siap mencuci baju,
menyetrika, memasak, membangunkan shubuh ketiga anaknya, menyiapkan sarapan dan
baju sekolah anak-anaknya, menyiapkan bekal untuk dibawa bahkan mengantarkan
Laut yang masih TK ke sekolah sambil menggendong Awan yang masih balita. Sang
suami, Edy belum tidur malam ini, ia masih di depan mesin ketik. Menyelesaikan
naskah dramanya.
Naskah drama berjudul Gerbong
Kereta itu akan dipentaskan oleh Sanggar Seni Raden Saleh pekan depan. Siang
ini naskah drama harus jadi, naskah drama itu akan dibeli oleh pemilik Sanggar
Seni Raden Saleh, Pak Tony Wijaya. Edy harus segera menyelesaikannya. Besok
adalah jatuh tempo membayar sekolah Langit dan Laut. Pembayaran sekolah tidak
boleh terlambat. Listrik dan Air pun tidak boleh terlambat. Sisanya bisa
ditabung untuk persiapan kelahiran bayi kembar bulan depan.
“Anak-anak sudah berangkat,
Non?”, tanya Edy sambil terus mengetik.
“Sudah Yang, Non bersiap
berangkat siaran ya. Ada nasi dan sayur di meja makan. Awan Non bawa. Sayang
belum tidur malam ini kan? Lukisan pesanan Pak Anwar dikerjakan besok saja,
istirahatlah!”, pesan sang istri kepada suaminya.
“Tidak Non, lukisan Pak Anwar
harus selesai, tinggal sedikit lagi. Besok akan diambil. Biar uangnya segera
cair. Mas sudah cerita pada Non belum? Pekan depan Mas akan bekerja ikut Endar
ke Jakarta”, Edy kemudian menghentikan ketikannya.
“Jakarta? Apa harus pekan depan
berangkat? Ada proyek dengan Endar?”, tanya Wulan sambil mengernyitkan
keningnya kemudian duduk di hadapan suaminya.
“Proyek Ngaji Berpuisi Non,
Endar sekarang Kiai terkenal, ia ingin setiap tausiyahnya diakhiri dengan
musikalisasi puisi. Mas diminta mengurus puisi-puisi yang akan dibawakan. Mas
harus ke Jakarta. Ini demi keluarga kita. Non ijinkan?”, pinta Edy.
“Non sedang hamil tua Yang,
tidakkah ini terlalu cepat”, Wulan memohon
“Mas yakin, engkau istri yang
bisa mengurus segalanya dengan baik. Si kembar dalam perut ini akan bangga
dengan Ibunya yang tangguh!”, Edy mengatakan sambil meyakinkan sang istri.
“Baiklah, jika memang itu yang
terbaik. Non sudah terlambat. Non harus segera ke radio. Ada jadwal siaran
siang ini.”
“Ya, nanti akan Mas dengarkan
suara indahmu Non, Love you!”.
Kesabaran Wulan benar-benar
diuji. Ketika hamil tua ia tetep mengurus rumah dan anak-anak sendiri.
Sementara sang suami bekerja di perantauan. Sungguh seorang istri yang
sholihah, lembut hatinya dan mulia akhlaknya. Anggapan keluarga besar bahwa
tidak aka nada yang sanggup meladeni seorang Edy Tetuko ia patahkan. Kesabaran
dan cintanya yang tulus membuktikannya.
Setelah menyelesaikan naskah
drama berjudul Gerbong Kereta, Edy meneruskan lukisannya. Lukisan keluarga
pesanan sahabatnya, Anwar Hudaya yang akan dihadiahkan untuk sang istri di hari
pernikahannya. Edy Tetuko sering sekali mendapat pesanan lukisan keluarga,
banyak pelanggan memuji lukisannya. Lukisan yang indah, penuh dengan cinta.
Karena memang dilukis dengan segenap jiwa. Menjadi pelukis adalah cita-cita Edy
sejak kecil. Darah seni mengalir dalam tubuhnya. Sang Ayah, Harisastro lah yang
menurunkan darah seni lukis pada Edy. Melukis tidak hanya bermain warna dan
menerjemahkan imajinasi melalui bahasa gambar. Melukis adalah bahasa jiwa, ia
tidak hanya dapat mengungkapkan perasaan namun menumbukan cinta. Selain
melukis, Edy mencintai sastra. Puisi, cerpen, novel bahkan naskah drama pun ia
buat. Darah seni memang teramat kental mengalir. Ia berharap kelak anak-anaknya
pun mencintai seni.
Satu frekuensi hati membuat dua
insan manusia yang sama sekali tidak kenal sebelumnya menjadi sangat mengenal
dan saling mencintai. Wulan bersyukur menikahi seorang Edy Tetuko. Ia tidak
pernah bermimpi untuk menjadi istri ter bahagia, ia hanya berharap memiliki
keluarga bahagia. Yang setiap detiknya adalah kebahagiaan, yang setiap langkah
kakinya adalah keberkahan. Wulan memang istri yang sangat baik, ia tidak pernah
melewatkan satu malam pun untuk mendoakan suami dan anak-anaknya. Terkadang air
mata dan isakan pun berdebur menjadi satu kesatuan, air mata bahagia bisa
merajut kasih bersama seorang seniman hebat kebanggaan Indonesia.
***
Satu bulan bukan waktu yang mudah
menjalani kehidupan tanpa seorang suami di sisi, Edy memutuskan untuk bekerja
di Jakarta bersama sahabatnya Endar. Wulan tentu mendukung setiap keputusan
suaminya itu. Hari demi hari ia lalui dengan bahagia. Bersama ketiga anaknya
yang luar biasa. Langit, sang sulung hari ini mulai belajar mandiri. Anak
berumur 7 tahun itu berani berangkat sekolah sendiri, pulang sekolah sendiri
serta mengaji sendiri. Anak kelas 1 SD yang sangat berani. Jarak rumah dengan
sekolah memang tidak terlalu jauh, namun untuk mengaji di sore hari, Langit
harus menaiki angkutan umum. Wulan sang ibu begitu yakin bahwa Langit bisa
mandiri. Begitu pula dengan Laut yang masih TK kecil, ia berangkat sekolah dan
pulang sekolah bersama Langit karena sekolah mereka berdekatan. Terkadang sepulang
sekolah mereka tidak langsung pulang, mereka bermain di pasar. Mengejar
anak-anak kucing, memberi makan ikan dengan uang tabungan mereka dan mengajak
anak-anak kucing pasar bermain manja. Wulan tidak pernah melarang, ia hanya
memberi nasehat terbaik sebagai seorang ibu.
“Langit sayang, jangan lupa
beri makan si meong nanti siang ya. Tapi setelah itu cuci tangan dan pulang ke
rumah. Makan siang dan sholat zuhur, setelah itu….”
“Setelah itu bobok siang Ibu…
Karena langit harus mengaji. Hari ini Langit naik ke jilid 5 Bu…”
“Wah, selamat nak, pintar!”.
Wulan tidak pernah khawatir
dengan anak-anak mereka. Biarkan mereka menikmati masa kecilnya seperti
layaknya anak-anak kebanyakan. Yang paling penting mereka berpegang teguh pada
prinsip, mau mengaji dan sholat juga belajar. Langit tidak pernah menangis, ia
seperti bunga edelweiss di kaki gunung. Tidak pernah takut dengan apapun, ia
sangat berani. Langit suka sekali mengaji. Setiap perlombaan hapalan surat
pendek, Langit selalu juara. Inikah mutiara surga keluarga Edy Tetuko, yang
kilaunya membias hingga relung-relung hati kedua orang tuanya. Laut yang masih
duduk di kelas TK kecil pun tidak kalah pintarnya. Sejak masuk sekolah TK ia
sudah bisa mandi sendiri, mengambil makanannya sendiri, dan memberi makan adiknya
Awan. Walau masih perlu dibantu, setidaknya Laut menuruni sifat kakak
perempuannya yang juga mandiri. Namun Laut suka menangis jika keinginannya
tidak terpenuhi. Jika Laut menangis, Wulan tidak pernah marah. Ia hanya
tersenyum dan menenangkan anaknya itu dengan nyanyian atau cerita dongeng
seperti Bapaknya lakukan. Ia seperti oase yang menyegarkan, anak kedua keluarga
yang cerdas dan penuh semangat.
Dr. Wen mengatakan bahwa Hari
lahir si kembar dalam kandungan sepekan lagi. Wulan sang ibu masih bekerja,
menjadi penyiar radio di radio female sekaligus Ibu nomor satu untuk Langit,
Laut dan Awan. Awan masih balita dan sering ia ajak bekerja. Menjadi wanita
karir sambil mengurus anak tidaklah mudah apalagi sang suami bekerja di luar
kota. Namun Wulan begitu menikmatinya. Pagi-pagi sekali ia sudah siap, setelah Langit
dan Laut berangkat sekolah ia sengaja mengunjungi tetangganya, membawakan satu
piring pudding coklat buatannya.
Langit sering memanggil
tetangga sebelah rumah mereka dengan sebutan Budhe cantik. Seorang wanita janda
yang memiliki 3 anak perempuan yang juga cantik. Orang kampung memanggilnya
Budhe Lis, seorang penjual warung kelontong yang sederhana. Wulan sering sekali
mengunjungi Budhe Cantik, sekedar memberikan makanan buatannya atau membeli
kebutuhan rumah tangga di warungnya. Kali ini Wulan meminta tolong kepada
tetangganya itu.
“Budhe, 1 minggu lagi saya
lahiran. Nitip Langit dan Laut ya dhe’, Bapaknya masih di Jakarta.”
“Siap Mbak Wulan, Langit kan
udah biasa main disini to, Laut juga. Pokoke beres.”
Entah ini sebuah firasat atau
takdir berbicara, sore harinya sepulang kerja, Wulan merasakan kontraksi yang
teramat dahsyat. Si kembar akan lahir dan Edy masih di Jakarta. Dengan penuh
ketenangan ia meminta Langit memanggil Budhe Cantik. Tetangga mulai berdatangan
dan bersiap membawa Wulan ke rumah sakit terdekat. Detik-detik menuju kelahiran
sungguh sangat menegangkan. Dr. Wen mengatakan bahwa salah satu bayi kembar
laki-laki sudah lahir dengan selamat, namun Subhanallah luar biasa, si kembar perempuan
masih di dalam perut dalam keadaan terlintang. Dokter harus segera mengambil
tindakan Caesar. Tidak ada tetangga yang berani menandatangani surat
persetujuan Caesar. Siapa yang akan bertanggungjawab jika ada sesuatu yang
tidak diingankan. Detik terus berjalan dan surat persetujuan belum juga
ditandatangani.
Budhe Cantik sejak tadi tidak
tenang, ia terus menghungi Edy Tetuko melalui Endar namun tidak juga diangkat.
Si kembar harus segera dilahirkan dengan Caesar. Di sisi lain, di sebuah tempat
nan jauh disana, Edy yang sedang mendampingi Endar memberikan tausiyah roadshow
tiba-tiba merasa tidak enak hati. Keringat dinginnya bercucuran, ia merindukan
dengan sangat sosok Wulan yang tersenyum kepadanya juga rindu yang membuncah
kepada ketiga anak-anaknya, Langit, Laut dan Awan. Rasanya ia ingin sekali
menghubungi mereka sesegera mungkin. Ada perasaan ingin pulang dan memeluk
keluarganya. Inilah ikatan batin antara suami istri yang saling mencintai
dengan sebenar hati. Sang istri sedang berjuang melahirkan buah hati mereka.
Budhe cantik akhirnya menandatangani surat persetujuan tindakan operasi Caesar.
Masya Allah, semoga Allah berikan kelancaran dalam proses operasi. Dua jam
berjalan sang bayi kembar perempuan lahir kedunia. Dua bayi kembar yang tangguh,
dilahirkan dengan penuh perjuangan oleh ibu yang tangguh.
***
Edy menerima kabar yang sangat
membahagiakan ketika ia baru saja membacakan puisi di akhir tausiyah Endar
berjudul Keluargaku Surgaku. Ia pun bergegas menelpon sang istri untuk
memastikan.
“Assalammualaykum. Non…
bagaimana dengan si kembar? Masya Allah, maafkan mas tidak bisa mendampingi
dalam perjuanganmu. Akan kuazankan mereka.”
“Waalaykumussalam. Alhamdullilah lancar Mas, yang
kedua Caesar. Iya silahkan azankan mereka”.
Kemudian dengan tangisan penuh
haru di balik telepon, sang ayah mengazankan mereka dengan penuh kekhusukan.
Subhanallah malam yang sungguh syahdu diiringi azan yang berkumandang. Dua bayi
kembar mendengar asma Allah untuk yang pertama kalinya, berharap kelak sholih
dan sholihah, pejuang dakwah yang cerdas dan istiqomah. Seakan malam itu
semesta pun bertasbih mengiringi kelahiran si kembar yang berbeda jenis kelamin
itu.
“Non, Mas sudah mempersiapkan
nama untuk anak kita, semoga Non suka. Fajar Gumilang dan Senja Gemintang.
Bagaimana?”
“Nama yang bagus Mas… seperti
fajar di pagi hari dan senja di sore hari. Mereka akan menjadi anak-anak yang
luar biasa kelak.”
“Alhamdullilah. Mas akan pulang
besok Non, Love you so much my sweetheart.”
Sang ayah sungguh berharap
Fajar Gumilang kelak dapat menyinari keluarga mereka, sinar harapan yang
pendarnya masuk dalam celah-celah hati setiap orang yang menemuinya, yang bisa
menjadi cahaya kehidupan bagi keluarga mereka. Begitu pula dengan Senja
Gemintang, berharap bahwa Senja bisa melengkapi keindahan keluarga mereka
dengan semburatnya yang indah. Harapan Wulan dan Edy adalah memiliki anak yang
sholih dan sholihah, berbakti kepada bangsanya, cerdas dan istiqomah berjuang
untuk kebaikan, dan tentu mencintai seni sebagai napas kehidupan mereka.
HOPE.
To
be continued…
Komentar