Aku Mencintaimu

hanya satu pintaku
tuk memandang langit biru
dalam dekap ayah dan ibu 
Perjalanan kereta malam tak membuat saya lantas menutup mata dan beristirahat. Jam menunjukkan pukul 00.34 dan kereta jurusan Jakarta-Semarang melaju cepat. Saya lihat penumpang tertidur pulas, termasuk keluarga saya tercinta. Sepicing pun saya tak mampu menutupkan mata, memaksa agar terpejam pun tak mampu. Saya menoleh sekitar, sepi dan sunyi. Hanya suara gesekan rel dan suara kereta yang melaju. Tidak ada suara lain, selain suara hati. Saya melihat ke arah jendela, gelap dan tak ada apapun, jauh di ujung sana pun tak mampu saya terka. Sesekali melewati rumah penduduk atau perkampungan maupun jalan raya, ada kerlap-kerlip lampu. Saya tidak begitu menikmati perjalanan malam. Rasanya melankolis sekali.

Saya menatap dalam-dalam wajah ibu saya yang meneduhkan dan wajah bapak saya yang penuh kasih sayang, tak terasa air mata pun perlahan menetes. Ada apa ini? batin saya dalam hati. Saya benar-benar melankolis. Ingatan saya seperti berlari, saya ingat hari kemarin ketika ibu dan bapak berjuang untuk kami anak-anaknya, hingga saat ini kami menjadi pribadi yang baik, sebaik bapak dan ibu. Sungguh, rasanya ingin memeluk mereka. Tapi takut membangunkan keduanya.

Dua pekan bersama keluarga kemarin adalah hal yang paling membahagiakan. Ternyata menjadi seorang anak itu ada kalanya merasa teramat menyesal. Menyesali bahwa sewaktu kecil pernah menyakiti mereka, membuat mereka menangis bahkan sakit karena memikirkan kita anaknya. Apa yang lebih kita rindukan selain melihat kedua orang tua kita mulia di hadapanNya?.

Orang tua laksana oase yang menyejukkan disaat kita merasa kering dan tak bersemangat. Mereka adalah alasan kita untuk berbakti dan mencari ridho Illahi. Sayang, lidah saya begitu kelu mengucapkan. Bahwa saya teramat sangat mencintai mereka. Air mata pun tak terbendung. Saya hapus air mata saya yang semakin deras, menatap dalam kegelisahan. Bagaimana jika kami sudah berkeluarga, lantas siapa yang akan merawat mereka?. Siapa yang akan mendengar curahan hati mereka di saat umur mereka sudah tua renta. Rasanya saya ingin tetap bersama mereka, merawat hingga usia senja. Namun, lagi-lagi fitrah sebagai seorang wanita. Sendhiko dhawuh.

Kenangan sewaktu kecil bertahan cukup lama dalam pikiran saya, melewati 2 jam perjalanan di atas kereta. Saya melirik jam, 5 jam lagi sampai. Saya tetap tak bisa memejamkan mata. Suatu saat saya akan merindukan masa-masa dimana bisa bercengkrama lebih sering dan lebih lama dengan bapak dan ibu. Suatu saat saya akan begitu merindukan minum teh bersama di halaman belakang rumah. Suatu saat saya akan begitu merindukan tawa riang bapak ketika bercerita dan senyum sumringah ibu. Suatu saat saya akan merindukan usapan lembut dan kecupan manis bapak ibu sambil sesekali berbisik "bapak Ibu bangga sama Niken". Apa yang sudah saya berikan kepada mereka? Bapak Ibu tercinta?.

Allah akan menjamin tempat terindah di surgaNya jika Bapak dan Ibu memiliki bekal anak-anak sholih sholihah yang mendoakannya. Yang tiada pernah letih berusaha membahagiakannya. Yang tiada pernah menyerah berjuang untuk sebuah senyuman kebahagiaan yang terlihat di bibir mereka. 
Ya Allah, sekiranya hamba tak mampu mewujudkan segala harapan mereka
bantu dan kuatkan hamba untuk tetap bertahan pada senyum dan kebanggaan mereka
Ya Allah, jika air mata tak cukup untuk membayar rasa penyesalan yang pernah ada
bantu dan kuatkan hamba untuk memperbaiki dan berbuat lebih baik untuk mereka
Ya Allah, jika engkau mengizinkan...
Berikanlah Bapak Ibu tempat paling mulia disisiMu kelak.
 
Ibu juara satu sedunia yang mengajarkan arti kehidupan sesungguhnya. Yang selalu mengingatkan dan menasehati dengan hatinya yang lembut. Yang tak pernah marah apalagi membentak. Yang selalu memberikan kecupan manis di kening ketika anak-anaknya hendak melakukan sesuatu. Ibu selalu berpesan, "bahwa kesuksesan itu harus dari nol, maka kita tau rasanya berjuang" . Ibu adalah wanita terhebat yang pernah saya temui di dunia ini. Ibu yang mengajarkan saya bahwa menghormati orang dan menghargainya adalah bentuk memuliakan diri.

Bapak juara satu sedunia. Entah bagaimana caranya saya mengekspresikan rasa cinta pada Bapak. Just say I love u, Pak. Atau mendoakannya dalam kesunyian. Bapak mengajarkan begitu banyak keindahan dalam palet dan kanvasnya, dalam setiap syair yang beliau bawakan, dalam setiap goresan pena yang menginspirasi banyak orang. Dalam setiap tutur kata yang meneduhkan. Ada banyak cerita yang kelak saya akan ceritakan pada suami dan anak-anak saya. Bahwa saya memiliki orang tua yang luar biasa.
Bapak Ibu, aku mencintaimu tak sesederhana mata sampai kepada hati
Bapak Ibu, aku mencintaimu tak sesederhana busur panah yang melesat
Bapak Ibu, aku mencintaimu tak sesederhana yang bisa kuucapkan
Aku mencintaimu seperti cinta laut pada airnya yang tak pernah mampu kering selamanya
Aku mencintaimu seperti cinta matahari pada buminya yang tak pernah lelah bercahaya
Aku mencintaimu seperti tanaman yang berjuang hidup pada keringnya gurun tak berkesudahan
Aku mencintaimu karena cintamu pula pada Allah, yang pertama dan kucintai selamanya
Aku mencintaimu Bapak dan Ibu, selamanya...
 

*Untuk Bapak dan Ibu 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia