Surga Yang [Tak] Dirindukan

"Nonton Yuk, Ken"
"Nonton apa pak?"
"Surga yang tak dirindukan".

Assalammualaykum readers dan movie lovers in the world :). Tadinya Bapak penasaran banget sama film Mencari Hilal. Kata adek yang uda nonton sejak gala premiere, diantara film yang lagi tayang di bioskop, Mencari Hilal yang paling idealis. Baik segi cerita, penyutradaraan sampai sinematografi. Bahkan dek Zahid bener-bener bikin Bapak penasaran gegara screenplay Mencari Hilal ini bisa jadi nyabet FFI. Tapi sayang, filmnya ga begitu menyedot penggemar movie. Dan cepat sekali turun layar. Maybe karena idealis tadi ya, film mikir yang dibuat oleh sineas idealis juga.

Tapi kali ini dek Zahid ga cukup berhasil mempengaruhi Bapak. Bapak lebih penasaran sama film Surga yang tak dirindukan, based on my favorite novelist, Asma Nadia. Dan saya siap dikritik sama adek-adek karena merekomendasikan menonton film ini. Saya sudah siap diajak debat sama adek-adek soal sinematografi, penyutradaraan, screenplay sampai soundtrack, editing juga teknik kamera. Begini nih kalo punya adek-adek pecinta gambar bergerak yang idealis banget.

Ibu yang paling seneng waktu Bapak ngajak nonton film Surga Yang Tak dirindukan. Yes, kali ini saya berhasil. Dari rumah saya sudah siap tissue banyak, karena film ini sepertinya menguras air mata. Terlebih lagi ibu yang hatinya super lembut. Benar saja, saat film diputar hampir seluruh penonton terisak-isak dalam tangis. Saya berbisik pada Bapak yang duduk disebelah saya, "Bapak terharu?" dan ternyata Bapak juga terharu. Yes, saya berhasil.

Keluar dari gedung bioskop, bapak terburu-buru keluar. Batinku, wah apa ya review dari Bapak tentang film yang saya rekomendasikan ini?. Saya siap didebat. Saya pribadi sih suka dan recommended, entah bagaimana dengan yang lain?.

Sampai dirumah, dek Zahid cuma diam. Dengaren ya? Tiba-tiba Bapak mulai memberi penilaiannya. Filmnya bagus, sutradaranya siapa Ken? Kuntz Agus, Pak. Sutradaranya berhasil menyutradarai dengan 'inner'. Jarang ada sutradara yang 'bicara' dan pake teknik inner. Sekelas Garin Nugroho aja belum tentu bisa. Sutradaranya juga pinter memvisualisasi setiap sudut jogja. Bapak seperti pulang kampung. Dari setting rumah, wayang sampai tarian juga sudut-sudut ikon jogja. Bagus dari sisi penyutradaraan.

Film ini mengajarkan kita bahwa islam begitu indah dan lembut dituturkan. Bahwa sabar dan ikhlas itu bisa diupayakan. Film ini menguatkan dan menggetarkan. Cuma sayang, endingnya kurang meledak. Sudah lazim. siapa sreenplay nya Ken?. Alim Sudio pak, yang bikin 99 Cahaya dan Assalammualaikum Beijing. Spesialis film religius. "Bagus! Bapak suka".

Dek Zahid kok ga komentar ya?. Eh tetiba dia bilang: Secara cerita kuat sih Mba, tapi kamera yang dipake ga sebagus Mencari Hilal. Surga yang tak dirindukan banyak ngambil dari atas, pencahayaannya terang. Dan penonton dibikin terkuras air matanya. Menurutku akting paling bagus Tanta Ginting, dia Comic lho mba. Tapi semua karakter dia bisa. Itu lho yang jadi Syahrir di film Soekarno. Bunda Asma berhasil bikin cerita yang kuat soal problematika keluarga. Dakwah yang santun tuh mba lewat film. Pantes ya penuturan ceritanya hampir sama kaya Assalammualaikum Beijing, screenplay nya Alim Sudio ternyata. Editornya juga lumayan, Cesa David sudah ga diragukan. Lumayan lah mba.

Pemainnya temen-temennya Bapak lho Ken. Landung Simatupang yang jadi ayahnya Arini. Sitaresmi yang jadi ibunya Arini. Sitaresmi itu istrinya Om Rendra lho, Ken.

Alhamdullilah, setidaknya pesan dakwah dari film ini sampai pada keluarga kami. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 1]: 8 Fitrah Manusia

Mengapa Takut Pada Lara?