Manusia Yang Mulia itu bernama Muhammad.

Manusia Yang Mulia itu bernama Muhammad.


Sungguh luar biasa Rasullulah SAW itu, hatinya lembut dan penuh dengan kehangatan. Beliaulah suri teladan terbaik bagi seluruh umat Manusia. Semakin hari, dunia fatamorgana ini semakin membuat manusia lupa keberadaan Allah, lupa kewajibannya terhadap Allah, bahkan mungkin lupa pada manusia paling mulia, suri teladan terbaik sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW. Hati sanubarinya yang peka tidak pernah luput memperhatikan dambaan dan dukacita orang lain. Beliau shalat sangat khusuk, yang dilakukannya dengan hati senang dan bukan karena mendambakan mahkota kerajaan ataupun kekayaan dunia. Meskipun dalam shalatnya itu beliau senang membaca surah-surah yang panjang, namun ia segera melepaskan kebahagiaannya yang besar itu (dengan mempercepat shalatnya) hanya karena mendengar bayi menangis menunggu sang ibu yang ikut shalat bersama beliau. Yaitu karena kasih beliau pada bayi yang menangis memanggil sang ibu. Beliaupun seorang manusia yang kalbunya bergetar melihat hewan memikul beban lebih dari kemampuan. Subhanallah, sungguh mulia Rasullulah SAW itu.

Dunia memang begini, penuh dengan kepalsuan. Penuh dengan madu yang manis maupun perhiasaan yang indah. Dunia membuat kita lupa terhadap sang MahaDaya, Allah SWT. Begitu banyak peristiwa yang membuat luka batin ini semakin menganga lebar. Kaum kapitalis lahap memakan rakyat, kaum zionis yang memporak-porandakan dunia, pembunuhan karakter, manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang paling utama diatas segalanya, uang menjadi kuasa, gila harta, kekuasaan, martabat, mereka hanyalah manusia, kecil dan tak berarti apa-apa di hadapan Allah. Namun apa yang dilakukan manusia kini? Mereka membunuh janin mereka, aborsi terjadi dimana-mana, korupsi merajalela, kriminalitas tak pernah berhenti diberitakan. Masya Allah, inikah manusia yang perlahan-lahan rusak karena krisis moral dan lagi-lagi ini karena paradigma mereka terhadap kehidupan yang jauh dari kepasrahan terhadap Allah SWT. Allah SWT menjadikan Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, uswatun hasanah, untuk menjadi suri teladan yang baik bagi umat manusia, seluruh umat manusia. Hidup akan terasa berarti dan bermakna ketika hati dan jiwa kita berpegang teguh pada Al-Quran dan sunnah Rasul. Walaupun dunia terus memaksa kita untuk meninggalkan kedua pedoman penting dalam hati kita, treuslah berjuang demi Allah, demi surga dan cintaNya.

Rasullulah bersabda: “Siapa yang berpegang teguh pada sunahku di zaman rusaknya umatku, maka baginya ganjaran 100 orang yang mati syahid”. (HR:Al Baihaqy dari Ibnu Abbas r.a). cintailah Allah dan RasulNya, karena sesungguhnya cinta Allah dan RasulNya lah cinta yang paling tulus, ikhlas, tanpa pamrih kepada kita. Segala perilaku kita di dunia hendaklah mengacu pada perilaku Rasullulah SAW. Untuk mencintai Muhammad SAW, yang harus kita bayangkan bukan gambaran fisiknya, tetapi keagungan kepribadiaannya. Kita harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga tidak terpukau dengan kendahan lahiriah. Kita harus berusaha menembus rasa cinta yang didasarkan hal-hal nyata, dapat diraba atau dapat dilihat. Kendahan bukan berada pada platform material, melainkan pada platform immaterrial. Kita suka gunung jangan karena kehijauan dan kerimbunan pohon-pohonnya, tetapi karena ketenangan dan misterinya. Kita senang buku jangan karena keindahan covernya atau kemewahan kertasnya, tetapi karena kearifan dan kesejukan isi tulisannya. Begitu juga kita jangan mengukur keshalehan seseorang dari tanda hitam di jidatnya, peci putih yang dipakainya, ataupun tasbih yang selalu berada di tangannya.

Ada satu kisah yang bisa menjadi renungan kita:

Pada suatu waktu Rasullulah sedang tidur-tiduran di rumahnya berlepas lelah. Beliau berbaring di atas tikar yang terbuat dari daun-daun tamar yang dianyam. Tiba-tiba seorang sahabatnya yang bernama Ibnu Mas’ud datang berkunjung. Oleh karena Rasullulah waktu itu tidak memakai baju, maka terlihat jelas oleh Ibnu Mas’ud bekas anyaman tikar melekat pada punggung Rasullulah. Melihat peristiwa ini Ibnu Mas’ud amat sedih, dan bendungan airmatanya pun pecah berserakan. Sungguh-sungguh tidak pantaslah rasanya seorang Rasul kekasih Allah, seorang kepala negara dan seorang panglima tertinggi berhal seperti demikian. Dengan terharu Ibnu Mas’ud berkata: “Ya Rasullulah! Bolehkah saya membawakan kasur kemari untuk tuan?” mendengar ini Rasullulah bersabda: “Apalah artinya kesenangan hidup di dunia ini bagiku tak ubahnya seperti seorang musafir dalam perjalanan jauh yang singgah berteduh dibawah pohon kayu yang rindang untuk melepaskan lelah. Kemudian dia harus berangkat meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan yang sangat jauh tidak berujung.”

Sungguh luar biasa Rasullulah itu, walaupun beliau seorang kekasih Allah, seorang kepala negara, seorang panglima tertinggi namun beliau selalu bijaksana, sederhana, dan rendah hati. Kontras sekali dengan kehidupan petinggi negara di seluruh dunia yang jauh dari kesederhanaan, bahkan bergelimang harta dan kekuasaan. Memiliki tanah berhektar-hektar, mobil mewah, rumah bertingkat-tingkat, tidur nyaman di kasur empuk dan makan enak di hotel berbintang. Dunia memang manis dan indah, namun terkadang-kadang bisa mengeluarkan racun berbisa yang dapat membunuh siapa saja. Apalagi seperti masyarakat yangn hidup di tengah-tengah kota metropolitan. Kota yang menawarkan berbagai macam kemudahan dengan peralatan canggih penunjang kehidupan. Kota yang menawarkan dunia gemerlap malam, kota yang serba penuh kesenangan. Yang membuat penghuninya lupa dengan kaidah-kaidah bermasyarakat sesuai tuntunan Rasullulah. Mungkin ini salah satu penyebab mengapa hanya sedikit manusia yang memilki akhlak mulia. Seperti Rasullulah SAW, manusia mulia yang selalu dirindukan oleh umatNya yang cinta kepadaNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sabar Seluas Samudra

Mengapa Takut Pada Lara?

Tak Ada Beban Tanpa Pundak