Karena Yang Mencintai Quran Yang Menyejukkan Hati
Suatu saat bila engkau datang
Tolong cintai aku karena Allah
Bimbing aku, jadilah imam dalam sholatku
Izinkan bakti dan taatku menyatu bersama senyum di wajah teduhmu
Izinkan cinta dan rinduku terpatri kuat di dalam hati dan pikiranmu
***
Suara
gerimis di luar sana mengaburkan sejenak memoriku. Entah berapa banyak hal yang
telah kulewati dalam hidup. Semuanya menyisakan kenangan yang terlampau sulit
untuk dilupakan. Ah, melewati begitu banyak persinggahan hati tidak seharusnya
kutangisi, bukankah setiap air mata terlalu berharga hanya untuk sesuatu yang
bersifat tidak pasti. Terlebih lagi soal cinta, bisakah ia merona jingga saja
seperti senja di sore hari atau mekar mewangi seperti bunga di pekarangan
rumah?.
Semarang, 2013
“Gerimis sayang, Naik taksi aja, kalau naik bis gamis indah Kakak basah loh!”, seperti biasa Mama mulai khawatir jika musim hujan datang.
Semarang, 2013
“Gerimis sayang, Naik taksi aja, kalau naik bis gamis indah Kakak basah loh!”, seperti biasa Mama mulai khawatir jika musim hujan datang.
“Naik bis aja Ma, bisa pakai payung. Uangnya mau Vivi belikan buku, sayang kan kalau buat naik taksi.”
“Kamu ini… ya sudah sana berangkat. Lancar ya hapalan Quran nya, semoga tahun ini selesai juz 30 nya. Uda ada yang nungguin tuh..” Mata mama berbinar
“Siapa Ma?”, aku mendadak bingung
“Itu
yang kemarin hadir di wisuda, sholih deh Kak kayaknya.”
Aku mengernyitkan dahi, “Masya Allah Ma, Mas Ilham maksudnya?”, kemudian aku menggelengkan kepala perlahan.
“Kenapa? Bukannya dia baik sama kamu? Uda kerja lagi… tunggu apa lagi sayang…”, Mama berusaha meyakinkan.
“Kerja di bank konvensional Ma… “ Aku melirik Mama yang dari tadi sudah terlalu berharap.
Mas Ilham, kakak seniorku di kampus memang baik, tapi untuk perkara paling penting, soal prinsip hidup misalnya, tidak sama denganku. Aku kira sebagai seorang muslim mencari maisyah halal adalah perkara hakiki, tidak bisa ditawar, tidak bisa juga menjadi kewajaran. Sebagai seorang aktivis ekonomi syariah aku tau betul bagaimana hukum bekerja di lembaga keuangan konvensional, dan bagaimana dampaknya terhadap keberkahan hidup. Ini sebuah prinsip yang mesti dipertahankan sampai akhir hayat, apapun resikonya.
Bis melaju cukup kencang dihempas hujan yang cukup deras, sesekali aku memanjatkan doa terdalam kepada Allah, pencipta hujan. Tak terasa bulir air mata menetes perlahan, ini bukan perkara mudah memilih pendamping hidup. Ini perkara sangat penting, dunia akhirat. Mas Ilham mengutarakan maksudnya hendak meminangku, langsung kepada orang tuaku ketika ia dengan sengaja menghadiri wisudaku. Hatiku tidak mantap, ada banyak keraguan disana. Baik saja tidak cukup, aku butuh imam dunia akhirat. Tidak hanya di dunia, tapi menggandengku menuju surgaNya. Aku sudah sepuluh kali sholat istikharah, meminta petunjuk, jawabannya tetap saja tidak. Yang kukhawatirkan hanya satu, ada yang hati yang terluka karena keputusanku ini. Mas Ilham, maafkan Vivi.
Ah, perkara jodoh. Bukankah jodoh cerminan diri? Dan
Allah berjanji bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu pula
sebaliknya. Lebih baik aku mesra dengan Quran, hari ini aku harus menyetorkan
hapalan juz 30 ku kepada Ustadzah Hanifah, aku tidak mau mengulang lagi,
bagaimana mungkin di umur 23 tahun ini aku masih tidak juga hapal juz 30?
Faghfirlii Ya Rabb, Astagfirullahaladzim…. Aku harus fokus dengan Allah, aku
harus fokus dengan kitabullah, mengkaji tafsirnya, memperdalam maknanya. Sudah
3 tahun aku mengaji, mengikuti halaqoh Quran, berhijrah untuk menjadi pribadi
lebih baik, tidak sepatutnya hatiku tidak mantap perkara haq. Apalagi soal
pendamping hidup. Lebih baik aku memantaskan diri.
“Jaman
sekarang susah Vi kalau ga pacaran… Yang pacaran bertahun-tahun aja ga jadi,
gimana yang ga pacaran coba, kenal aja belum… Gimana bisa cocok?” Sahabatku
Dian mengutarakan pendapatnya selepas memelukku karena aku lulus menghapal juz
30.
“Aku ga mau pacaran Dian, kamu tau kan itu dilarang sama Allah. Lagian aku masih muda, aku mau lebih banyak belajar tentang islam, fiqh muslimah saja aku belum khatam, hapalanku masih sedikit belum lagi ilmuku masih sangat kosong.”, aku mencoba menjelaskan kegamanganku pada sahabatku sedari kecil itu.
“Aku ga mau pacaran Dian, kamu tau kan itu dilarang sama Allah. Lagian aku masih muda, aku mau lebih banyak belajar tentang islam, fiqh muslimah saja aku belum khatam, hapalanku masih sedikit belum lagi ilmuku masih sangat kosong.”, aku mencoba menjelaskan kegamanganku pada sahabatku sedari kecil itu.
“Iyaa
ukhti sholihah, I know… Taa’ruf maksudmu kan? Hei, uda berapa banyak yang kamu
tolak coba? Kamu uda bikin luka hati banyak orang loh…”, Dian
mencoba mengingatkanku.
“Dian,
aku mau fokus memantaskan diri. Aku mau lebih banyak mencintai dienul islam
ini. Sungguh, banyak hal yang belum aku tau. Aku mau lebih banyak mencintai
Quran, karena siapa yang mencintai Quran pastilah ia mencintai Allah…dan kelak
aku sangat yakin jodohku adalah orang yang mencintai Quran juga. Insya Allah”
Aku yakin, Jodoh sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Mau diambil
dari jalan halal ataukah haram, dapatnya yang itu juga. Yang beda, rasa
berkahnya. bukan tentang apa, berapa, atau siapa; tapi Bagaimana Allah memberikannya;
diulurkan lembut mesra, atau dilempar penuh murka?. Pesan ini selalu aku
ingat. Ustadz Salim pernah menjelaskannya, begitu mantap dan yakin. Begitu pula
aku, yang merasa bahwa bukan perkara apa atau siapa namun bagaimana Allah
memberikannya.
***
Semarang, 2015
Kata orang, umur
terbaik untuk melangsungkan pernikahan adalah ketika berumur 25 tahun. Mama dan
Papa tak pernah berhenti menanyakan perkara ini padaku. Terlebih setelah aku
diterima bekerja sebagai Akuntan di Bank Syariah sekaligus relawan kemanusiaan
di NGO ECOSOC PBB Perwakilan Indonesia. Ada kekhawatiran mendalam kedua orang
tuaku, karena aku lebih banyak memikirkan orang lain, terutama kaum dhuafa
ketimbang diri sendiri. Tentu aku sangat memahami, aku anak pertama dari tiga
bersaudara, kedua adikku juga ingin menyempurnakan separuh agama namun sungkan
menungguku karena aku belum memberikan kepastian.
Aku masih setia dengan
Quran, aku tak pernah seharipun melewatkan mengkajinya. Teringat taujih
Ustadzah Hanifah “ Sebaik-baik manusia
adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al Quran” (HR. Bukhari) dan “Bacalah Al Quran, karena ia akan datang
pada hari kiamat menjadi juru syafaat pagi para pembacanya” (HR. Muslim).
Kedua hadist ini sungguh terpatri kuat dalam sanubari. Aku tidak pernah tau
kelak seperti apa jodohku, mengeja namanya saja aku tidak pernah sanggup.
Karena fokusku saat ini adalah memantaskan diri.
“Kak,
kamu masih inget Feri?”, Mama mencoba mengingatkanku pada
sosok Feri, laki-laki unik anak teman Papa yang tinggal di Jogja.
“Mas
Feri yang bulan lalu ke rumah itu Ma?”, aku sedikit tidak
bersemangat karena aku tau arah pembicaraan Mama, namun aku tetap menghormati
dan mencoba menyenangkan hati Mama.
“Iya sayang, dia sekarang uda PNS loh, diterima Kementrian Keuangan, sekarang sudah ditempatkan di Depkeu Jogja. Kakak dulu pernah bilang kan ke Mama kalau pengen menetap di Jogja? Nah, pas… kayaknya jodoh deh…”, Mama melirikku sambil tersenyum.
“Iya sayang, dia sekarang uda PNS loh, diterima Kementrian Keuangan, sekarang sudah ditempatkan di Depkeu Jogja. Kakak dulu pernah bilang kan ke Mama kalau pengen menetap di Jogja? Nah, pas… kayaknya jodoh deh…”, Mama melirikku sambil tersenyum.
“Kemarin
Vivi liat dia foto sama pacarnya Mah di Prambanan, pake peluk juga…”,
aku memperlihatkan foto Mas Feri kepada Mama melalui akun instagramnya,
“Lah
to, telat Vi.” Mama terlihat murung dan kecewa
“Ma,
tenang, stay calm Mama sayang… Vivi doain Mama dapet menantu sholih yang
akhlaknya baik, hatinya lembut dan penyayang keluarga.”
Aku kemudian memeluk Mama. Kulihat ada bulir menetes di pelupuk mata Mama.
Entah, sudah berapa
banyak hati ini singgah. Hanya singgah saja, belum juga menetap. Dari Mas Ilham
seniorku di kampus, kemudian Mas Budi teman di kantor Bank Syariah yang
tiba-tiba mengajakku pacaran namun takut untuk berkomiten lebih jauh, Mas
Rayhan teman sesama relawan NGO yang hampir setiap hari datang ke rumah untuk
sekedar menanyakan apakah aku lupa jadwal pertemuan relawan tapi tidak berani
bertemu Papa, hingga yang terakhir Mas Feri, anak teman papa yang hobi naik sepeda
dan sudah jadi PNS tapi melegalkan berpacaran, bergandengan tangan, berpelukan
dengan perempuan yang belum menjadi mahramnya.
Aku masih dengan
prinsipku, pilihan Allah lebih baik daripada pilihan diri sendiri. Rabbi, salahkah
aku jika sampai detik ini aku berharap jodohku adalah ia yang mencintaiMu? Yang
apabila bersamanya, Engkau dan surgaMu terasa lebih dekat?.
***
Jogjakarta, 2016
Papa sengaja mengajakku
traveling ke Jogja sebagai hadiah ulang tahunku sekaligus menghiburku. Umurku
26 tahun dan baru saja aku gagal menikah dengan seorang yang sholih hanya
karena perbedaan maisyah. Aku memutuskan untuk resign dari Bank Syariah dan fokus
mengajar, menjadi guru peradaban bagi anak-anak kurang mampu ditambah aku mulai
menggeluti bisnis hijab store. Papa setuju, Mama mendukung. Mereka orang tua
yang sangat demokratis tidak memaksakan kehendak anaknya. Ustadzah Hanifah
memberi sinyal positif bahwa ada seorang laki-laki sholih hendak taaruf
denganku. Kusampaikan CV dan proposal ta’arufku lengkap dengan foto yang cukup
menarik. Insya Allah, jika memang jodoh Allah akan berikan jalan terbaik.
Ustadzah Hanifah
memanggilku dengan sedikit terisak, kala itu masih terekam jelas dalam
ingatanku.
“Ukhti
Vivi, afwan jiddan. Akhi Yanuar belum bisa meneruskan ta’aruf. Saya mohon maaf
sangat, sebagai perantara belum bisa meneruskan proses ini”,
Ustadzah Hanifah memelukku sambil menangis.
“Tidak
apa-apa Ummi, insya Allah Vivi ikhlas. Kalau memang belum jodoh, Allah akan
gantikan lebih baik.” Aku tersenyum dengan hati teriris.
“Perkara
maisyah ukhti, penghasilan Ukhti Vivi lebih banyak dari Akhi Yanuar. Beliau
kurang berkenan karena menjaga izzah diri. Astagfirullah, afwan jiddan ukhti.
Mohon dimaafkan, sampaikan maaf saya kepada Mama dan Papa Vivi”,
Ustadzah Hanifah terus menerus meminta maaf.
Jujur ini adalah tahun
terberat bagiku, aku merasa sudah sangat siap berumah tangga, dengan ilmu dan
mental yang insya Allah sudah siap. Mama dan Papa pun setuju dengan perjodohan
melalui ta’aruf. Aku kira harta tidak menjadi masalah dalam berumahtangga,
bagiku yang terpenting adalah kecintaan kita kepada Allah. Tidak terlalu
penting juga masalah strata sosial maupun pendidikan. Semua bersifat dunia.
Yang sungguh menjadi kriteria utamaku hanya perkara agama dan akhlak. Itu saja.
Namun takdir Allah memintaku untuk bersabar atas segala ketetapannya.
Papa menghiburku, ia
mengajakku pergi ke Jogja. Kota favoritku, Papa tau betul aku suka sekali
seluruh destinasi wisata disana, ditambah makanannya yang enak dan sebagian
besar saudara kami ada di Jogjakarta. Malam itu Papa memelukku mesra, sambil berbisik
di telinga di bawah cahaya berkilauan Taman Pelangi Jogja.
“Nak,
Vivi sudah besar. Princess Papa yang cantik dan sholihah sudah besar. Jangan
bersedih, Allah sudah mempersiapkan laki-laki sholih untukmu Nak… ia yang akan menemanimu
meraih mimpi, ia yang akan memuliakanmu, menjadi imam dunia akhirat. Sabar Nak,
yang kemarin diikhlaskan ya. Mama dan Papa sudah ikhlas…”
Papa kemudian mencium keningku.
“Terima
kasih Pa, Vivi hanya bermuhasabah dan introspeksi diri kepada Allah. Allah
ingin Vivi lebih sabar, lebih kuat…”.
Lampion-lampion taman
pelangi Jogja seakan meredup perlahan, aku hanya bisa pasrah. Menyerahkan
segalanya kepada Allah. Kuhabiskan malam-malamku dengan air mata pertaubatan dan istighfar sedalam-dalamnya. Kulantunkan doa terbaik sepanjang malam, mengiba pada Sang Maha Cinta.
***
Semarang, 2017
kau yang tertulis di lauhul mahfuzh
kau adalah rahasia terbesarku
ku menunggu dalam sabarku
kuikhlaskan semua harapanku
Alhamdullilah Dian sahabatku sejak kecil akan melangsungkan pernikahan,
seluruh konsep pernikahan diserahkan padaku. Aku bahagia akhirnya sahabatku ini
menikah. Konsep pernikahan islami dengan make up tanpa cukur alis dan bulu
mata, dengan akad yang sakral namun bersahaja, dengan walimatul ursy sederhana
namun berkesan. Dengan warna pastel ungu yang elegan. Dian terlihat sangat
anggun dengan gaun ungu dipadu padankan dengan pink muda. Cantik sekali. Aku
berdiri di stand photobooth sambil melihat sekeliling, kulihat seorang nenek
tua datang bersama cucu tercinta, seorang lelaki muda yang lembut dan elok
kepribadiannya.
Kuperhatikan dengan
seksama sang lelaki muda tersebut, seperti tidak asing. Aku bergumam dalam
hati, bukankah itu Akhi Rahman? Hafidz muda Masjid Al Mustaqim? Masjid biasanya
aku mengikuti pengajian bersama Ustadzah Hanifah dan Ustadz Salim?. Lelaki
santun yatim piatu yang pintar menulis dan berpuisi itu. Yang bukunya best
seller itu kan? Muhammad Rahman Ibrahim? Dengan nama pena Rahman El Hidayat? Yang
selalu pertama kali datang ke masjid? Pertanyaan itu mengusik dalam sanubari.
Mama kemudian
menyenggolku, “Kak, feeling Mama…
kayaknya…. Itu deh…” sambil menunjuk Akhi Rahman. Subhanallah ya, masih muda sayang sama neneknya, lihat tuh. Mau lho
nyuapin neneknya dengan sabar di tengah tamu walimah gini. Seperti itu kan
idaman Kakak?Yang sholih, sayang keluarga”
“Mama kenal?”, Aku terperanjak
“Kenal banget dong sayang, tadi pagi dia,
neneknya dan Ustadzah Hanifah beserta ini datang kerumah, tapi kamu kan lagi
sibuk ngurus walimah Dian.Yaudah Mama sampaikan sekarang.” Mama menyodorkan kotak kecil berisi
sesuatu.
Lidahku tercekat,
kulihat cincin emas putih dengan hiasan permata digenggamanku. Aku tidak bisa
menahan perasaanku yang membuncah dalam dada.
“Dia ingin melamarmu sayang, dia saudara jauh
Redi, suami Dian. Makanya diundang kesini. Besok ia akan datang lagi dan
menunggu jawaban Kakak. Mama rasa Kakak akan menjawab: IYESS”, kemudian Mama memelukku.
“Insya Allah Ma, Insya Allah. Masya Allah,
Tabarakallah… Alhamdullilah Ya Rabbi Alhamdullilah Ya Rabbi…”, aku tak henti berucap syukur dengan linangan
air mata yang tak henti mengalir. Jodoh dunia akhiratku… Karena yang mencintai Quran yang menyejukkan hati. Alhamdullilah.
kau yang kusebut didalam doaku
kau yang menjadi imam dihidupku
kehadiranmu menyempurnakan imanku
bersamamu dimasa depanku
membangun cinta
membangun surga
menggapai ridhoNya
kau yang menjadi imam dihidupku
kehadiranmu menyempurnakan imanku
bersamamu dimasa depanku
membangun cinta
membangun surga
menggapai ridhoNya
Komentar