MELUKIS LANGIT [2]

NOVEL PART 2
FIRST STRUGGLE

Semarang, 2005

Laut tidak pernah meninggalkan pantainya, pun ketika deru ombak bergemuruh atau berlari, Laut tidak akan pernah meninggalkan sedetik saja pantainya. Begitu juga langit, langit tidak pernah meninggalkan mataharinya, ia tetap setia menunggu dengan sabar sang surya terbit di ufuk timur dan tenggelam di barat. Seperti Fajar yang senantiasa tersenyum di kala pagi menjelang, ia seperti cahaya penuntun kegelapan, semangat di kala malam terlelap. Senja pun penuh keceriaan ia selalu menaburkan bintang-bintang harapan yang melesat jauh menembus awan, yang selalu yakin pada setiap janji pada RabbNya bahwa hidup adalah sebuah perjuangan.

Langit menyadari bahwa menjadi seorang kakak pertama harus bisa menjadi teladan yang baik. Menjadi teladan keempat adik-adiknya yang berbeda karakter. Hari ini adalah hari pertama Langit masuk sekolah menengah atas (SMA). Setelah menjalani proses panjang dalam ujian nasional, Langit berhasil masuk SMAN 3 Semarang, SMA terbaik di kota Semarang yang hampir seluruh alumninya adalah orang-orang sukses nan luar biasa. Salah satunya adalah Sri Mulyani, mantan menteri keuangan yang sekarang bekerja di World Bank. Hampir seluruh siswa yang masuk SMAN 3 adalah mereka yang terbaik di masing-masing sekolahnya terdahulu. Juara 1 di SMP nya pasti masuk SMAN 3, jika masih ada kuota maka yang juara 2 dan juara 3 bisa masuk dan diterima juga. Rata-rata nilai ujian nasional yang diterima di SMAN 3 minimal 9.00. Itu artinya, seluruh siswa SMAN 3 adalah siswa yang sangat cerdas.

Langit sangat bersyukur bisa diterima di SMA paling favorit dan terbaik di kotanya. Itupun berkat perjuangannya yang tiada tara. Di kelasnya dulu, ia satu-satunya siswa yang tidak mengikuti bimbingan belajar. Sang Ibu, Wulandari Astuti yakin bahwa sang anak bisa belajar sendiri. Sepulang sekolah, Langit membantu Ibunya menyiapkan makanan untuk adik-adiknya, mencuci piring mereka sendiri-sendiri, kemudian di sore hari Langit membersihkan rumah, menyapu, mengepel, bahkan mencuci dan menyetrika bajunya sendiri. Seluruh kemandirian tersebut ia lakukan sejak usianya 7 tahun. Sang ibu selalu memberikan nasehat baik bahwa anak yang baik itu yang patuh kepada orang tuanya, rajin belajar dan mengaji. Setelah shalat maghrib dan mengaji ia sudah siap di meja ruang tamu untuk belajar bersama adik-adiknya. Mereka tidak memiliki meja belajar yang bagus, meja kayu buatan Bapak yang dibuat dari kayu sisa membangun fondasi rumah tetangga itu digunakan untuk belajar. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka berlima.

Laut yang pada saat itu masih duduk di kelas 2 SMP, SMP terbaik juga di kota Semarang selalu memuji kakak perempuannya itu hingga ia dijuluki si benteng takeshi. Laut dengan sigap membela jika ada orang yang mengejek atau menggoda kakaknya. Sejak kecil, Langit dan Laut berangkat sekolah bersama-sama dan bermain juga bersama-sama. Namun sebenarnya mereka sangat bertolak belakang dalam hal belajar. Langit rajin sekali belajar, ia suka sekali membaca buku. Ia tidak pernah lepas dari buku hingga seluruh teman-temannya mengatakan ia si kutu buku. Bapak selalu menghadiahkan buku ketika pulang ke Semarang, ketika ulang tahunpun kado dari teman-temannya adalah buku. Buku sudah menjadi sahabat setianya. Jika esok ujian, Langit benar-benar mempersiapkannya dengan sangat matang. Ia bisa belajar hingga larut malam dan mengulang lagi pagi harinya. Berbeda sekali dengan Langit, Laut anak yang tidak suka belajar. Lebih baik ia pergi bermain sepak bola bersama teman-teman sebayanya di lapangan bengkok, sebuah lapangan dekat dengan rumah mereka. Namun anehnya Laut selalu juara kelas. Ia sangat cerdas, ia sering diminta sang guru untuk menjadi komandan upacara, mewakili sekolah untuk olimpiade bahkan satu-satunya yang dipilih secara langsung mewakili sekolahnya dalam rangka lomba tingkat pramuka se Indonesia di Bali. Selain itu Laut diam-diam suka membuat puisi namun ia tidak pernah mau menunjukkan hasil karya puisinya.

Awan, sang adik yang cengeng dan perhatian ini suka sekali menyanyi. Awan masih kelas 5SD namun suaranya sangat merdu. Ia pernah mengatakan pada Langit bahwa kelak ia akan menjadi seorang penyanyi yang keren. Ia sering dibilang bukan anak Bapak dan Ibu. Awan lebih tepat dibilang anak Bule, karena hidungnya mancung dan kulitnya putih, badannya juga tegap. Namun Ibu selalu mengatakan bahwa Bapak ketika masih muda sama seperti Awan. Oleh karena itu Bapak memberinya nama Arjunawan Syailendra, karena memang parasnya seperti Arjuna, sangat tampan. Awan tidak suka matematika, berbeda dengan Langit yang suka sekali matematika. Maka ketika waktu belajar tiba, Awan yang paling tidak bersemangat karena ia tau sang kakak akan memberinya tebakan matematika.

“Kak langit, ini gimana sih kok soalnya susah banget. Awan ga bisa ah, nyerah alias K.O!”, Awan menyerah pada soal matematika yang diberikan sang kakak.

“Dek Wan, gimana sih kok nyerah, masak gitu aja nyerah? Orang sukses itu ga boleh bilang nyerah, kalo semua tebakan matematika ini bisa dikerjakan dengan benar, gimana kalau besok Minggu kita ke pasar malam? Kakak traktir deh, gimana?”, jawab sang kakak sambil menaikkan alis, tanda bahwa kali ini ajakannya berhasil.

“Uang dari mana Kak? Bukannya tabungan kakak sudah habis untuk mendaftar sekolah? Bapak kan belum pulang dan Ibu juga tak ada uang. Ga mempan deh rayuan kakak!”, balas Awan menantang.
“Ada dong, kan Kakak punya banyak tabungan!”

“Pasti dapet dari Kepala Sekolah kakak ya karena nilai matematika ujian nasional kakak 100! Iya deh, Awan kerjain!”.

Si Kembar, Fajar dan Senja pun tak kalah bersemangatnya dengan Awan. Fajar dan Senja masih duduk di kelas 3 SD, satu sekolah dengan Awan. Mereka berangkat bersama-sama ke sekolah. Berjalan kaki, tidak pernah diantar juga tidak pernah dijemput. Semua dikerjakan secara mandiri. Mereka juga tidak pernah malu membawa bekal ke sekolah. Bekalnya pun biasa dan sangat sederhana, hari Senin membawa ketela rambat, hari Selasa membawa kolak pisang, hari Rabu membawa ketela goreng, hari Kamis membawa kolak labu, dan hari Jumat membawa nasi telur yang telurnya dibagi untuk berlima. Masing-masing membawa minum dari rumah, uang saku yang di berikan Ibu lebih baik ditabung untuk membeli buku atau membeli tas baru. Langit pun walau sudah SMA, tas dan sepatu yang ia pakai masih sama seperti yang ia pakai ketika SMP. Begitu juga dengan adik-adiknya, tas atau sepatu baru akan dibeli jika benar-benar sudah rusak. Jika masih bisa ditambal atau dijahit maka masih bisa dipakai. Walaupun Langit sangat sedih karena belum bisa membelikan adik-adiknya peralatan sekolah yang baru, namun mereka tetap bersemangat.

***

Keluarga Edy Tetuko adalah keluarga yang sederhana, bahkan bisa dibilang keluarga yang sangat sederhana. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli suatu barang yang mewah. Rumah mereka pun sederhana, tidak ada barang perabotan yang mewah. Hanya ada satu televisi kecil yang sudah rusak, untuk menyalakannya saja perlu menunggu satu jam lebih dan kurang jelas jika ditonton. Wulan sang Ibu pun selalu menyemangati kelima anaknya yang luar biasa, bahwa kehidupan adalah perjuangan sebuah proses untuk menuju kesuksesan dan kesuksesan yang dimaksud adalah kebahagiaan surga. Memperbanyak amal sholeh adalah hakikat perjuangan sebenarnya karena dengan beramal, hidup dengan keadaan apapun akan bahagia.

Rumah mereka sangat unik, banyak tamu mengatakan bahwa keluarga Edy Tetuko adalah keluarga seni yang sangat unik. Rumah mereka tidak pernah bercat dinding sama, warna cat di dinding rumah berwarna-warni. Ada hijau, kuning, putih, merah bahkan hitam. Bapak sengaja mengecat rumah mereka dengan warna yang beragam, alasannya agar rumah terasa lebih hidup, anak-anak menjadi kreatif dan penuh kebahagiaan. Padahal sebenarnya Bapak tidak punya cukup uang untuk membeli cat, seluruh cat yang dipakai adalah sisa dari cat tetangga. Sungguh, tetangga mereka adalah tetangga terbaik sepanjang masa.

Jika musim hujan tiba, Langit paling bersemangat. Padahal rumah mereka selalu bocor, mungkin ketika musim hujan datang mereka sekeluarga akan bersama-sama bersatu-padu membersihkan rumah yang banjir karena bocor. Semua kekurangan itu dinikmati dan disyukuri. Bapak selalu mengatakan bahwa pemenang adalah mereka yang memperjuangkan hidup dengan bahagia. Jangan pernah berhenti berjuang dan jangan pernah menangis karena susah atau merasa kurang, Allah begitu kaya, sungguh kelak kan kita kecup manisnya perjuangan.

Edy Tetuko masih bersama Endar, ia bekerja menjadi asisten pribadi Endar, mempersiapkan puisi untuk dipentaskan sambil sesekali menerima order lukisan keluarga. Wulan mengirim seluruh palet, cat minyak dan beberapa kuas yang biasa dipakai oleh Edy untuk melukis. Ketika tak mengurus musikalisasi puisi bersama Endar, ia membuat naskah drama teater pesanan Sanggar Raden Saleh atau mengisi workshop budaya atau menulis cerpen yang dikirimkan ke media massa. Allah begitu luar biasa mencintai keluarga mereka. Wulan tetap menjadi ibu tangguh yang luar biasa. Ia berhasil mendidik dan membesarkan dengan sangat baik kelima anak mereka. Hingga suatu hari Wulan merasa sangat kewalahan ketika Allah mengujinya dengan berbagai cobaan. Ia terus menerus menghubungi Edy namun tak kunjung diangkat, kemudian menghungi saudara mereka di Djogjakarta juga tidak ada respon. Hingga Edy kemudian menghubunginya.

“Assalammualaykum, Non, ada apa? Mas sedang di Kebon Jeruk ada lukisan yang harus diantar. Anak-anak baik? Bagaimana dengan Non? Everything is Okay my Dear?”.

“Waalaykumussalam, Alhamdullilah Yang, Awan demam tinggi, tadi dokter mengatakan bahwa ia harus diopname. Tipes Yang. Bagaimana? Non tidak ada uang untuk membayar rumah sakit.”

“Masya Allah, sabar Non, Mas akan kirimkan uang hasil menjual lukisan. Tidak seberapa tapi pakailah, nanti Mas coba bicara dengan Endar.”

“Maafkan Non Yang, gaji Non sudah habis untuk makan kita sehari-hari”.

“Berdoalah Non, Allah akan berikan solusi.”

Wulan hanya mengangguk sambil menahan tangis yang sangat dalam. Ia memahami bahwa menjadi istri seorang seniman harus siap dengan segala resiko. Seniman tidak pernah memiliki penghasilan yang tetap apalagi mapan, mereka harus berjuang dengan karya yang dibuat dengan cinta berlapis air mata. Setiap lukisan memiliki arti yang bermakna bagi Edy, tidak hanya sebagai hasil karya untuk mencari uang tapi lebih dari sebuah karya yang membahagiakan. Wulan tidak pernah mengeluh dengan apapun yang Edy berikan. Ia istri yang sangat luar biasa. Begitulah cinta membuat mereka menjadi keluarga yang sangat kokoh walau badai mencoba berkali-kali menggulingkan.

***

Langit memilih untuk menjaga adiknya Awan di rumah sakit karena sang Ibu harus bekerja dan mengurus rumah tangga. Langit tidak masuk sekolah 3 hari dengan alasan menjaga adiknya di rumah sakit. Langit pun tak bersedih walau tabungannya habis untuk membayar rumah sakit. Tabungannya selama satu tahun sebenarnya untuk biaya widya wisata ke Bali, namun Awan lebih membutuhkan. Ibu tak ada lagi uang dan Laut juga tak memiliki tabungan.

“Gimana Dek, Awan mau kakak bacakan sebuah kisah? Atau mau apa?”

“Ibu… Ibu… Ibu mana Kak? Sakit kak, pusing. Huhuhu…”

“Dek, menangis itu temennya apa coba? Kalo Ibu tau Awan nangis, nanti Awan ga dibolehin main lagi lho, jangan nangis. Kita main tebak-tebakan aja gimana?”

“Ga mau, tebakannya pasti matematika kan? Ga mau! Awan mau pulang aja. Huhuhu…”

“Eh, kok pulang? Belum boleh sayang, gini aja, Kalo Awan mau nurut Kak Langit janji Awan kakak ajak ke Simpang Lima gimana? Mau? Kita naik bis bersama.”

“Benarkah? Iya Awan mau Kak.”

Langit begitu mencintai adik-adiknya. Ia ingin memberi kesan terbaik dan kenangan terindah untuk keempat adiknya bahwa seorang kakak adalah pelita harapan untuk adik-adiknya. Langit ingin mengajarkan adik-adiknya bahwa perjuangan itu manis, bahwa perjuangan itu penuh peluh namun kelak akan indah pada waktunya. Langit begitu bahagia memiliki adikadik yang luar biasa. Laut yang cerdas namun sangat melindungi kakaknya, Awan yang cengeng namun penuh perhatian, Fajar dan Senja yang penurut dan sangat sayang kakak-kakaknya. Mereka lima bersaudara yang rukun dan saling mendukung.

Perjuangan tidak akan pernah berhenti hingga mulut kita menyentuh tanah, berjuang adalah hal yang baik yang mesti dilakukan oleh siapapun. Tanpa perjuangan kita bukan siapa-siapa dan tanpa perjuangan kita seperti debu-debu beterbangan. Dan perjuangan ini belum berakhir, ini adalah awal dari segala cerita kehidupan keluarga Edy Tetuko. Mereka masih membuka pintu pertama sebuah perjuangan, mereka akan melewati banyak pintu yang ketika dibuka berisi banyak rintangan, cobaan bahkan kebahagiaan berlapis air mata.

#FIRST STRUGGLE

To be continued…




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sabar Seluas Samudra

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Mengapa Takut Pada Lara?