Share Tulisan Bapak: Mengenang WS.Rendra [Part 2]

Saya melihat Rendra sejak saya SD, 1965-an, di Tegal kota kelahiran saya. Ingatan saya, saat itu di antara banyak tamu ayah saya ada yang di mata kanak-kanak saya cukup mengesankan. Berkaos putih, pantalon putih, sepatu cat putih, dengan ransel tentara di punggung, wajah dan senyumnya begitu simpatik. Sebagai petugas membawakan minuman untuk tamu, saya hapal, tamu yang satu ini lebih suka minum air putih. Seingat saya, beberapa kali beliau datang dan menginap di rumah kami, kalau tidak dari Yogya mau ke Jakarta ya dari Jakarta mau pulang ke Yogya. 

Terutama, yang saya ingat betul, saat Ikatan Seniman Muda “Tunas” Tegal mementaskan drama. Lakonnya “Tanda Silang” karya Eugene O Neil, saduran Rendra. Sutradara WS Adhitama, nama keren ayah saya, Wuryanto. Pemainnya antaralain Parto Tegal, Iman Sumarto, Watu Sujiono, dan Susilowati. Dipentaskan di Gedung Gris Tegal, yang kemudian menjadi Gedung Wanita, dan sekarang Gedung Kesenian Tegal. 

Ada cerita menarik saat latihan lakon itu di rumah ayah saya, sedang ada jam malam setelah meletusnya G 30 S. Sehingga karena seluruh kota lampu dimatikan, latihan hanya diterangi lampu minyak. Pada jam malam itulah saya diam-diam ke luar rumah, dan dalam gelap dari balik gerumbul pagar beluntas, saya menyaksikan tentara berjaga di sepanjang jalan. Saya lihat senjata mereka seperti siap tembak, membuat saya deg-degan, terutama karena suara latihan drama terdengar oleh mereka. Betul, beberapa di antara mereka masuk gang, mengetuk rumah kami, dan saya lihat ayah saya membuka pintu.
“Ada apa ini?” tanya salahseorang dari mereka.
“Latihan drama, Pak,” jawab ayah saya.
“Tidak tahu ada jam malam?”
“Tahu, Pak, tapi kami ada ijin dari Walikota...”
Saya lihat ayah saya menunjukkan secarik kertas, dan Pak Tentara meneliti, lalu berkata, “silakan diteruskan, tapi dua anggota kami mesti menjaga di sini...” Jadilah, latihan drama dalam remang lampu minyak dijaga dua tentara dengan bayonet di senjata mereka tampak berkilatan.
“Tanda Silang” yang dipentaskan setelah kecamuk politik mereda, cukup banyak dihadiri penonton. Saya kecil kebetulan sedang di pintu masuk saat si putih-putih beransel datang. Turun dari becak, dan dengan wajah serta senyum simpatik mau masuk, tapi dicegah penjaga pintu karena tidak beli undangan. Sontak saya pun berkata, “ini Om Rendra..!” Penjaga pintu yang minta maaf karena tidak tahu segera menyilakan masuk, dan saya mengantar Om Rendra duduk di kursi depan bersama Om Wiratmo Soekito yang juga hadir.

Mungkin karena capek, entah dari Yogya atau dari Jakarta, selama pementasan berlangsung Om Rendra tertidur. Anehnya usai pementasan dan pulang ke rumah kami, Om satu ini bisa mengkritik pementasan. Sayang diskusi usai pementasan itu diminta dihentikan oleh Hansip, karena meski keadaan sudah dianggap aman tapi masih diberlakukan jam malam. Dan bagi yang menginap, Om Rendra dan Om Wiratmo diperiksa KTP-nya.  Celakanya Om Rendra tidak membawa KTP, “maaf, saya kecopetan di kereta api,” alasannya.
Untuk itu Pak Hansip pun mengambil keputusan, “maaf, Pak Rendra mesti menginap di kelurahan...”

(Bersambung)

(Tulisan ini saya tulis atas kenangan saya, sekaligus kirim doa untuk almarhum Mas Willy dan almarhum ayah saya, Wuryanto)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sibling Rivalry

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)