Share Tulisan Bapak: Mengenang WS.Rendra

Lulus SMA 1976, saya minta kepada ayah saya untuk kuliah di Yogya. Atas seabreg faktor keturunan, saya bingung mau kuliah apa. Betapa tidak, darah seni kakek saya dan ayah saya menurun semua kepada saya. Kakek saya, Soegarbo, adalah juru gambar dan pemain Wayang Orang “Ngesti Moeljo” Tegal 1945-an. Ayah saya, Wuryanto, seorang pelukis, cerpenis, sutradara drama, dan wartawan. Nama penanya banyak: WS Adhitama, Atto S Ananda, Bagas Bayung, Kang Siwur. Sebagai jurnalis, ayah saya pernah menerbitkan koran Tegal “Banteng Loreng” yang berkantor di rumah kami. Demikian, karena nilai menggambar di rapor 9, sementara nilai pelajaran lain 5 atau 6, saya memutuskan masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI).

Oleh ayah saya, saya dititipkan di Sanggarbambu, pimpinan Soenarto Pr sahabat ayah saya. Sanggarbambu pernah berpameran di Tegal, 1960-an, dan ayah saya penyelenggaranya. Ayah saya juga meminta kepada saya untuk bertemu Rendra sahabatnya juga, seperti yang terungkap dalam tulisan “Rendra Kecopetan”. Setelah saya menjalani plonco dan berkepala gundul, hasrat berseni-seni lain mulai menagih. Disamping teman-teman sekuliah jurusan senilukis, saya juga bergaul dengan para penyair Yogya. Mendadak ada keinginan saya untuk masuk Bengkel Teater Yogya. Saya mesti ke markas Bengkel Teater, sekalian menyampaikan salam dari ayah saya untuk Om Rendra.

Sore itu berjalan kaki dari Rotowijayan ke Ketanggungan Wetan, saya merasakan darah saya bergejolak. Terutama saat terdengar suara musik gamelan menghentak-hentak. Saya lihat awak Bengkel Teater sedang mengadakan latihan, dan Om Rendra sedang mengawasi. Tiba-tiba saya lihat di antara yang sedang latihan seperti ada yang saya kenal, “Seperti..Edi Haryono..,” batin saya. Haryono asal Pekalongan adalah kemenakan cerpenis Sastrawan “Angkatan 66” SN Ratmana, guru Fisika saya di SMA Tegal. Saya awal bertemu Haryono saat sama-sama menjadi peserta Lomba Baca Puisi tingkat SLTA di Pekalongan. Usai latihan saya pun menghampiri, dan benar, pria hitam manis yang kali itu sudah berambut gondrong adalah Haryono. 

Setelah beriang-riang bertemu lagi, Haryono mengajak minum kopi di rumah kontrakannya, tidak jauh dari tempat latihan. Sebagian awak Bengkel Teater memang tinggal di rumah-rumah kampung sekitar. Ternyata Edi Haryanto (Karta), kakak Haryono, yang di saat SLTA di Tegal dikenal sebagai anak mbeling, juga awak Bengkel Teater. Dialah EH Kartanegara, yang dikemudian hari menyebut perkawanan empat-sekawan sebagai 4-E: Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, EH Kartanegara, Eko Tunas (akan menjadi tulisan “Serial 4-E). Belakangan saya lebih sering ngopi di kamar Karta. Di situlah hasrat saya untuk masuk Bengkel Teater menjadi kendur. 

Betapa tidak, latihan dilakukan hampir sepanjang hari. Setiap saya menginap di kamar Karta, subuh sudah ada yang menggedor pintu, “Ta, Karta, latihan..!” Padahal semalaman kami berempat begadang, tapi pagi-pagi mereka sudah berolah-raga dan berladang. Kemudian latihan, makan siang, latihan lagi, malam pun biasanya ada semacam evaluasi. Juga latihan silat, yang dengar-dengar bisa baku-hantam betulan. Atau diskusi dengan mengundang pakar di bidangnya, misalnya Umar Kayam atau Bakdi Soemanto. Ya, nyali saya jadi mengkerut, dan salam belum tersampaikan. Sampai pada satu malam, saya diajak Haryono ke rumah Mas Willy, nama panggilan akrab Rendra.

Saya lihat di ruang tengah Mas Willy sedang bermain kartu bersama tiga awak, saya lupa nama permainan kartunya. Juga saat saya dan Haryono menggantikan dua awak yang sudah mengantuk, saya tidak tahu bagaimana permainannya. Jadi, pemainnya empat dan berpasangan, saya kebetulan berpasangan dengan Mas Willy. Antara sebagai pemain awam dan hasrat yang melempem, saya mencari kesempatan untuk menyampaikan salam. Om Rendra yang saya kenal saat saya SD memang sudah berubah. Kalau belakangan dia mendapat sebutan “Burung Merak” memang tepat, saya jadi segan dan ciut mirip burung emprit. Apalagi dia bermain sambil pasang kewibawaan bulu-bulu indahnya, mungkin karena saya orang baru di lingkaran mereka, belum berkenalan lagi..!. Mana wajah dan senyum simpatik, yang delapan tahun lalu di mata kanak-kanak saya begitu mengesankan. Saya lihat Mas Willy bermain kartu sambil membaca buku, anehnya pasangan kami selalu menang dalam setiap putaran. Sampai pada putaran lanjut, secara tidak sengaja saya menaruhkan kartu. Ternyata itu kemenangan besar bagi pasangan kami berdua. Saya lihat bulu-bulu si burung merak mekar, matanya menyorot tajam, tawanya mengambang. 

Permainan terus berlangsung, malam telah lewat tengah malam. Saya lihat Mas Willy telah meletakkan buku yang dibacanya, dan justru makin cerah dan bersemangat dia. Kemenangan besar tadi membuka kesempatan saya untuk menyampaikan salam dari ayah saya untuk sang burung merak.
 Saya menghela serangkum napas, lalu tanya saya dengan suara pelan, “Mas Willy masih ingat Pak Wuryanto Tegal..?”
Masih menunjukkan kewibawaan Mas Willy menyahut, “oh ya, masih...” Beberapa saat terdiam, sejujur kemudian dia menatap saya dengan kening berkerut, “lo, adik ini apanya Pak Wuryanto..?”
Sahut saya, “saya..anaknya...”
Sang Burung Merak bagai terpana.
Segera saya pun menyampaikan salam yang tertunda, “salam dari bapak, Om..ehh..Mas...”
Mendadak mata si burung merak membelalak, tawanya mengambang dan melebar, “ohh..yaa..? Ini..Dik Eko yang dulu masih kecil..gundul..?” Sontak Mas Willy meletakkan kartu, memanggil Mbak Narti isterinya yang telah bangun pagi. “Dik..Dik Narti, inii..Dik Eko..anak Mas Wur..Mas Wuryanto..Tegal..!”

Heran, ternyata Om Rendra masih hapal nama saya. Kami pun bersalaman, termasuk saya menyambut uluran salam Mbak Narti. Mbak Narti ternyata juga kenal baik ayah saya, karena ayah dan ibu saya juga beberapakali berbalas kunjungan ke Yogya. Lalu, seru MasWilly kepada Mbak Narti yang masuk dapur, “bikin nasi goreng, Dik..!”. Acara sarapan nasi goreng buatan Mbak Narti pun jadi membahagiakan. Saya melihat kembali wajah dan senyum simpatik Om Rendra saat di mata kanak-kanak saya. Kepada awak Bengkel Teater dia bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya. “Mas Wur kalau di Yogya seperti Mas Kayam,” tuturnya menyebut nama Umar Kayam, “dan orangnya tulus...” Lalu ujarnya, yang saya catat hingga kini, “saya pernah makan dari nasi dan masakan ibu Dik Eko, dan itu tidak bisa saya lupakan sampai mati...” 

(Bersambung)

(Kenangan indah atas persahabatan Mas Willy+Mbak Narti dan Ayahanda+Ibunda Wuryanto)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sibling Rivalry

Sabar Seluas Samudra

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Laut tak pernah meninggalkan pantainya :)