Satu Jam Bersama Bapak

"Islam itu sangat indah, Ken, bahkan menghargai seni dengan begitu sempurna". 

Assalammualaykum ikhwah, apakabar? Ga kerasa ya countdown 55 hari lagi bulan Ramadhan? Balighna Ya Ramadhan... Semoga Allah berikan kesempatan untuk mengecup manisnya bulan Maghfirah. Well, sebenernya mau share sedikit nih tentang diskusi saya dengan Bapak yang cukup menggelitik malam ini. Actually, ga mudeng juga sebenernya. Terkadang, berdiskusi panjang lebar dengan budayawan perlu konsentrasi tingkat tinggi. Selain kecerdasan yang diperlukan, juga pemahaman dan pengertian. Karena kalo cepat menyimpulkan sesuatu, makna kata yang disampaikan justru tak berbekas, hanya angin lalu saja. Dan malam ini, ada beberapa hal yang menarik yang saya diskusikan dengan Bapak.

Belakangan ini bapak jadi trending topic wartawan senior beberapa media masa, entah sudah berapa banyak wartawan yang menelepon Bapak untuk wawancara khusus terkait kasus yang sedang marak dibicarakan (Top Secret). Heran sih kenapa Wartawan suka sekali mencari budayawan, sastrawan, bahkan seniman untuk membicarakan di luar ranah profesinya. Maybe dalam permasalahan politik maupun sosial, budayawan dianggap bisa memberikan solusi terbaik. But, never mind. Bukan itu yang saya mau bahas disini. 

Ngomongin budaya memang ga ada habisnya, apalagi jika budaya itu dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan, kondisi bangsa dewasa ini. Bisa jadi budaya yang sedang mengakar sekarang ini adalah kontemplasi dari banyak permasalahan yang terjadi. Bapak mengaitkan hal ini dengan isu-isu politik, ekonomi bahkan hukum. Kalo saja setiap individu di negara ini menyadari bahwa politik kebudayaan adalah pondasi dari kekuatan sebuah negara. Hmm.. awalnya saya manggut-manggut aja sewaktu Bapak menjelaskan perkara ini. Dari sejarah Guru Bangsa hingga pemerintah saat ini. Tapi setelah sampai kepada Konferensi Asia Afrika jaman dulu dan hari ini, saya perlahan memahami.

Cerita berlanjut ketika Bapak bercerita tentang nasib jurnalis di era serba digital ini. Dulu kita mengenal keberanian Mochtar Lubis, kita juga mengenal bagaimana sebuah berita berakar pada kejujuran, tanpa apatisme maupun dorongan pihak-pihak tertentu. Ia ibarat air yang jernih tanpa rasa apapun. Bapak pun bercerita mengenai perjuangan rekan-rekan seniman agar budaya, seni dan sastra menjadi kepribadian bangsa yang besar ini. Dari tulisan kecil di media massa mengenai kegelisahan seniman tak memiliki tempat berkarya hingga mendesak pemerintah untuk menghargai seni sebagai karya murni rakyat Indonesia, bukan penganut plagiarisme. 

Jurnalis sekarang ini banyak memilih, Bapak menulis tentang kegamangan yang mendalam tentang suatu kasus, tapi hampir semua media menolak menerbitkan. Tentu tidak semua media, hanya beberapa media yang dekat kaitannya dengan tulisan dan kritikan Bapak di dalamnya. Begitulah seniman, jika menulis dan menuangkan pikiran dalam bingkai kejujuran, terkadang tidak banyak direspon. Maybe Bapak berkarya di ranah lain saja, usulku. Hmm... dan ternyata pekan depan bapak diundang untuk menyampaikan tentang materi kebudayaan di didepan wakil rakyat. Gumamku, semoga Bapak tidak serius mengatakan itu. Membekali wakil rakyat dengan menyampaikan hal tentang Budaya? Masya Allah semoga all is well.

Obrolan kami berlanjut ketika Bapak bercerita tentang karya-karya nya yang raib entah kemana. Aku kemudian berpikir, karya yang mana? Apa tidak bisa kuperjuangkan untuk mencarinya satu per satu. Tidak banyak yang bisa kulakukan. mencari karya Bapak sama saja mencari jarum dalam tumpukan jemari. Karya dari 20 tahun yang lalu sebelum saya dilahirkan, yang menulis saja masih menggunakan mesin tik. Kulihat Bapak berkaca-kaca, mungkin memang sudah saatnya saya mengumpulkan kepingan-kepingan karya yang tak tau kemana perginya. 

Kemudian saya membuka buku berjudul "Tunas" yang bapak tulis, ada salah satu Quote favorite saya di prolog buku tersebut, "Bahwa sebuah karya akan menemui nasibnya sendiri. Apakah ia akan bermanfaat atau tidak, apakah menginspirasi atau tidak, semua tergantung bagaimana nasib itu membawanya". Mendadak saya jadi agak sedikit melankolis malam ini. Satu jam yang berarti bersama Bapak, berdiskusi panjang lebar yang cukup berbobot.

Finally Bapak selalu berpesan, "Islam itu sangat indah, Ken, bahkan menghargai seni dengan begitu sempurna". Berkaryalah karena dan untukNya, dengan begitu Niken akan bahagia." Subhanallah... ;')

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sabar Seluas Lautan dan Hati Sejernih Langit

Sabar Seluas Samudra

Sekuat Apa Jika Kau Seorang Diri?

Fitrah Based Education [Part 3]: Framework

Mengapa Takut Pada Lara?